Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 21 Februari 2015

Cinta Kehidupan, Benci Kematian

Allah merasa perlu berjanji kepada Nuh dan segenap makhluk yang selamat.
Pelangi Kasih (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.” (Kej. 9:11). Demikianlah firman Allah kepada Nuh!

Mengapa Allah berjanji? Bukankah Dia pencipta semesta? Mengapa Sang Pencipta yang harus berjanji kepada makhluk ciptaan-Nya? Bukankah seharusnya manusia yang berjanji untuk tetap taat kepada Allah supaya tidak dihukum lagi?

 

Logika Allah

Tak mudah menjawab serangkaian pertanyaan itu? Namun, itulah kesaksian Alkitab: Allah merasa perlu berjanji kepada Nuh dan segenap makhluk yang selamat.

Jika memakai logika manusia, maka yang biasa berjanji adalah pihak yang bersalah untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya! Jika memakai logika manusia, maka akan ada sejumlah sanksi seandainya janji tidak ditepati. Dan biasanya—lagi-lagi jika logika manusia dikedepankan—sanksi itu akan lebih berat ketimbang hukuman sebelumnya.

Itulah yang tidak terlihat dalam perjanjian Allah tadi. Dengan kata lain, yang dipakai bukan logika manusia, melainkan logika Allah. Dan syukurlah bukan logika manusia yang diterapkan! Jika logika manusia yang dipakai, apa jadinya bumi ini!

Lidah tak bertulang. Peribahasa itu menyiratkan bagaimana manusia begitu mudahnya melanggar janji. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa janji itu dibuat untuk dilanggar! Jika manusia yang berjanji, mungkin peristiwa air bah akan sering berulang!

 

Mencintai Kehidupan

Isinya perjanjian jelas: Allah tidak akan mengadakan pemusnahan massal lagi. Mengapa? Karena Allah sungguh-sungguh mengasihi segenap makhluk ciptaan-Nya, juga manusia! Dengan kata lain, Allah sesungguhnya merupakan Pribadi yang mencintai kehidupan dan membenci kematian.

Mungkin saja Nuh merasa gamang akan masa depan keturunannya. Apakah manusia tidak akan mengulangi lagi kesalahan dan dosanya seperti dahulu? Lalu, bagaimana sikap dan tindakan Tuhan jika menyaksikan manusia mengulangi kesalahan yang sama? Apakah masih ada masa depan bagi generasi berikut?

Perjanjian Allah itu menjawab semua kekhawatiran Nuh. Dalam perjanjian-Nya itu tampaklah bahwa Allah adalah Pribadi yang cinta kehidupan dan benci kematian. Allah mengasihi ciptaan-Nya!

 

Dipimpin Roh Allah

Pada titik ini, agaknya kita perlu belajar untuk setia kepada janji kita sendiri. Tentu banyak janji yang telah kita ucapkan. Salah satunya adalah janji hidup sebagai Kristen, entah sewaktu kita menerima sakramen baptis dewasa atau ketika mengaku percaya.

Petrus menyatakan kepada umat: ”Baptisan ini bukanlah suatu upacara membersihkan badan dari semua yang kotor-kotor, melainkan merupakan janjimu kepada Allah dari hati nurani yang baik.” (I Ptr. 3:21, BIMK). Baptisan sendiri merupakan suatu janji! Dan itu hanya mungkin terjadi kala kita mau dipimpin Roh Allah.

Sebagaimana Yesus—Allah yang menjadi manusia—setiap manusia senantiasa menghadapi dilema: dipimpin Roh Allah atau dipimpin Iblis (Mrk. 1:12-13). Yesus tidak menjadikan diri-Nya dipimpin Iblis. Atas semua cobaan yang dihadapkan kepada diri-Nya, Yesus hanya punya satu jawaban: tidak. Mengapa? Karena Dia memberi diri dipimpin Roh Allah.

Apakah kita bersedia dipimpin Roh Allah? Jika ya, perlulah kita bersama Daud memohon: ”Tunjukkanlah kehendak-Mu kepadaku, ya TUHAN, nyatakanlah apa yang harus kulakukan” (Mzm. 25:4, BIMK).

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home