Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:00 WIB | Senin, 28 September 2015

Darurat Asap, Mau Sembunyi di Mana Lagi?

Ilustrasi: Kota Pekanbaru dikepung kabut asap. (Foto: halloriau.com)

PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM - Asap akibat kebakaran lahan dan hutan (Karlahut) terus mengepung sebagian wilayah di Provinsi Riau, Sabtu (26/9) pagi. Bahkan asap pekat dan berbau kian terasa, walau sudah berada di dalam rumah dan dengan kondisi pintu dan jendela tertutup.

Kepekatan asap di sejumlah daerah di Riau, salah satunya Pekanbaru, semakin mengkhawatirkan. Asap yang menyebabkan sesak napas serta perih di mata tersebut masih berlangsung hingga pukul 09.30 WIB. Bahkan matahari terlihat berwarna oranye, persis seperti beberapa pekan lalu, saat puncak asap pekat melanda Riau.

"Kayaknya makin parah, soalnya di dalam rumah juga kelihatan asapnya. Kami terpaksa menyalakan lampu dan mengurung anak-anak di kamar. Tapi tetap saja ada tercium bau asap. Anak-anak kami batuk beberapa hari ini. Kemarin cek ke dokter katanya kena Infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA)," kata Lisa, seorang ibu rumah tangga kepada GoRiau.com.

"Mau sembunyi ke mana lagi kalau kondisinya sudah begini? Di dalam rumah pun masih terkena asap. Kemarin imbauannya jangan keluar rumah, ya gimana kalau asapnya itu justru sudah masuk (ke rumah). Pasrah saja mudah-mudahan asap berkurang," kata Lisa, warga Rumbai Pesisir ini.

Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, asap terparah melanda Pelalawan dengan jarak pandang hanya 200 meter, Rengat 50 meter, Dumai 2.000 meter dan Pekanbaru 1.000 meter.

Darurat Pencemaran Udara

Sementara itu, kabut asap yang makin memprihatinkan di Riau, menyebabkan Plt Gubri Arsyadjuliandi Rachman menetapkan Riau sebagai "Darurat Pencemaran Udara" karena sudah membahayakan masyarakat.

Kalangan legislatif meminta pemerintah segera melakukan evakuasi warga ke daerah yang lebih aman.

Seperti disampaikan Roni Amriel, Ketua Komisi IV DPRD Pekanbaru baru-baru ini, yang dikutip dari halloriau.com, ia cukup prihatin atas makin parahnya kondisi kabut asap yang terjadi saat ini.

"Kita minta kepada kepala daerah, baik kabupaten dan kota, untuk bersama-sama menanggapi masalah asap ini. Ini bukan tanggung jawab gubernur saja tetapi tanggung jawab kita bersama. Maka perlu ada upaya dalam memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kondisi Kota Pekanbaru dan sekitarnya sudah dinyatakan darurat pencemaran udara," kata Roni.

"Pemko bisa melakukan evakuasi, baik itu ibu-ibu hamil, anak-anak, orang tua. Bila perlu dilakukan evakuasi ke Sumatera Barat (Sumbar), jangan biarkan hal ini berlarut-larut. Di samping itu, kita minta pimpinan kepala daerah untuk mengecek masyarakat yang terkena ISPA baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Bisa jadi, penderita penyakit ISPA ini akan meningkat dan bisa menyebabkan kematian," kata Roni.

Warga Riau Datangi Komnas HAM

Pada Jumat ( 25/9) lalu, beberapa warga Riau mendatangi Komnas HAM. Mereka ingin mengadukan bahwa kabut asap telah menyebabkan warga kesulitan beraktivitas dan mengalami gangguan kesehatan. Kebakaran hutan dan lahan ini berdampak panjang. Selain sekolah diliburkan, banyak orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Mereka menilai, kejadian ini telah merenggut HAM warga, terutama hak lingkungan sehat.

“Kami dari Gerakan Rakyat Riau Melawan Asap ke Komnas HAM, karena telah terjadi pelanggaran hak hidup bebas dari pencemaran asap. Kami di Riau, selama sebulan tiap hari bernapas dengan udara beracun,” kata Helda Khasmy, aktivis Serikat Perempuan Indonesia (Seruni).

Data Dinas Kesehatan, ada 43.386 warga Riau terpapar ISPA, bahkan menimbulkan korban jiwa. Sudah sebulan anak-anak tak sekolah. Kegiatan ekonomi lumpuh. Namun, tak ada proses evakuasi dari pemerintah bagi kelompok rentan. Baik anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Evakuasi hanya inisiatif warga. “Itupun hanya segelintir. Bagi warga mampu, mereka mengevakuasi keluarga ke Bukit tinggi atau Padang. Masih banyak warga tetap bertahan di tengah kepungan asap.”

Data satelit NASA, sejak Januari-September 2015, titik api di Riau paling banyak Juli 2.085. Titik api di HTI PT Arara Abadi (336), PT RAPP (297), PT Bukit Batu Hutani (107), PT Inhil Hutani Pratama (103), PT Rimba Rokan Lestari (146) dan PT Sumatera Riang Lestari (208). Di perkebunan seperti PT Alam Lestari (43), non HGU (1.730), PT Langgam Inti Hibrindo (23), PT Pusaka Mega Bumi dan Nusantara (10). 

“Kami menuntut pemerintah menindak tegas dan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan,” katanya.

Helda mengatakan, kebakaran terulang tiap tahun karena pola penguasaan tanah tak berpihak pada masyarakat lokal. Lahan banyak didistribusikan pada perkebunan besar dan HTI. Imbasnya, kanalisasi membuat lahan gambut kering dan rentan terbakar.

“Ini karena monopoli lahan gambut Riau. Kami meminta pemerintah menghentikan monopoli penguasaan lahan, audit izin-izin pemanfaatan lahan.”

Dalam kesempatan sama anggota Komisi E DPRD Riau, Ade Hartati mengatakan, pemerintah memadamkan api tetapi tak menjawab persoalan mengapa kejadian terus berulang tiap tahun. “Hutan Riau harus ditata kembali. Kalau tidak, kami tak akan pernah bebas dari asap. Apakah ini yang akan kami wariskan ke anak cucu? Tata kelola hutan harus jadi landasan. Riau sampai saat ini belum punya RTRW," katanya. (GoRiau.com/Halloriau/mongabay.co.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home