Loading...
OPINI
Penulis: Mgr. I. Suharyo, Pr. 03:54 WIB | Senin, 23 Desember 2013

Datanglah Ya Raja Damai

SATUHARAPAN.COM - Namanya Edith Stein. Ia lahir pada tahun 1891 dalam keluarga yang sangat saleh. Dia sendiri adalah pribadi yang sangat cerdas. Pada usia 14 tahun Edith Stein sampai pada kesimpulan bahwa Allah tidak ada. Ia tidak mempunyai lagi alasan untuk percaya. Ia menulis, Dengan sadar saya memutuskan, atas kemauan saya sendiri, untuk berhenti berdoa. 

Sesudah beberapa lama menjadi perawat dalam Perang Dunia I, ia memutuskan untuk belajar filsafat, suatu disiplin ilmu yang selalu mengajukan pertanyaan mengenai hakekat realitas dan hidup manusia. Meskipun keputusan eksistensial untuk berhenti berdoa sudah diambil, tetapi pencarian mengenai arti hidup tidak pernah berhenti mengusik hatinya. 

Sampai pada suatu hari, ia berjumpa dengan seorang teman yang baru saya kehilangan suami karena meninggal. Edith Stein yang sampai waktu itu tidak percaya akan adanya Allah tersentuh oleh yang ia lihat dan alami sebagai  ketabahan ilahi yang tampak pada diri temannya itu. 

Selanjutnya ia akan menulis bahwa kekuatan itu diberikan oleh salib kepada orang-orang yang memikulnya.  Saat itulah ketidakpercayaan saya runtuh dan Kristus mulai memancarkan sinar-Nya kepada saya. Boleh dikatakan ketabahan ilahi yang ia saksian dalam diri teman yang baru ditinggal oleh suaminya itu adalah salah satu wujud dari inkarnasi atau penjelmaan Allah. 

Natal adalah peristiwa inkarnasi, Firman telah menjadi daging dan tinggal di antara kita. (Yoh 1:14). Paulus membahasakan peristiwa itu dengan kata-kata yang lain: Yesus Kristus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati  (Flp 2:6-8). 

Inkarnasi dengan demikian berarti Allah masuk ke dalam sejarah umat manusia dan dunia, dengan segala kegembiraan dan harapannya dan dengan segala kecemasan dan keprihatinannya. Konsekuensinya, tidak ada tempat atau keadaan atau segi kehidupan  sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya -  seperti apapun jeleknya, yang tidak menjadi tempat Allah hadir dan berkarya. 

Dengan keyakinan seperti ini, semua masalah adalah tantangan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan iman. Bagi umat Kristiani di Indonesia, realitas masyarakat Indonesia adalah tantangan dan kesempatan iman itu. 

Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengambil judul Datanglah ya Raja Damai. Di dalamnya  disebut secara eksplisit tiga masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu intoleransi, kerusakan alam dan korupsi. 

Untuk menggarisbawahi betapa seriusnya masalah korupsi misalnya, bisa diingat data yang dicatat oleh Kementeriaan Dalam Negeri. Dalam catatan itu, sejak tahun 2005 hingga 2013, ada 177 gubernur, wali kota atau bupati yang terlibat korupsi. Sementara itu anggota DPRD, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang terjerat hukum sudah mencapai angka 3000 (Suara Pembaruan, Senin 9 Desember 2013). 

Berita mengenai intoleransi dan kerusakan lingkungan  serta masalah-masalah lain yang menghambat dan menghalangi terbangunnya damai - juga menjadi berita sehari-hari. Dalam keadaan seperti itu seorang beriman ditantang untuk bertanya, Apakah yang perlu bahkan harus kita lakukan agar lingkungan kita menjadi semakin manusiawi, semakin damai? 

Pertanyaan itu tampaknya sederhana. Namun untuk dapat mengajukan pertanyaan itu diandaikan seseorang mempunyai kompetensi etis yaitu belarasa dan kerjasama. Para pemimpin Gereja yang tergabung dalam PGI dan KWI mendorong kita semua untuk tidak jemu-jemu dan tekun berusaha menjadi agen-agen pembawa damai di mana pun kita berada dan berkarya, seperti apa pun realitas di sekitar kita. 

Wilayah perjuangan untuk menjadi agen-agen pembawa damai begitu luas. Luasnya wilayah ini tampak dalam pesan-pesan yang disampaikan pada setiap Hari Perdamaian Sedunia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 1 Januari. 

Dulu orang berkata si vis pacem para bellum artinya kalau engkau menghendaki damai, siapkanlah perang. Kekuatan senjata yang berimbang di antara pihak-pihak akan membuat pihak-pihak itu tidak akan dengan mudah memaklumkan perang. 

Damai seperti itu bukanlah damai yang dirindukan oleh umat manusia sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Yesaya. 

Sekarang kita perlu membangun keyakinan baru bahwa damai yang sejati tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam kebebasan beragama, pelestarian lingkungan hidup dan keadilan. Merayakan Natal berarti menyatakan kesediaan untuk mengambil bagian dalam tanggungjawab itu. 

Penulis adalah Uskup Agung Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home