Loading...
OPINI
Penulis: Tedi Kholiludin 15:30 WIB | Rabu, 18 Desember 2013

Memasarkan Agama

SATUHARAPAN.COM - Ada tiga pendekatan dalam memahami ekspresi keberagamaan di ruang publik. Pertama, teori sekularisasi (klasik). Sosiolog agama mula-mula seperti Max Weber dan Emile Durkheim serta para penafsir baru laiknya Brian Wilson memahami bahwa perbedaan mendasar antara agama modernitas menyebabkan berkurangnya peran agama di ruang publik. Agama kehilangan signifikansi dalam menginterpretasi dunia.

Kedua, teori individualisasi. Grace Davie, Thomas Luckmann merupakan dua diantara sekian banyak teoritisi yang percaya pada kesahihan teori ini. Menurut mereka, agama adalah urusan personal. Pola ini penting untuk dikembangkan. Dampaknya, agama-agama yang terinstitusionalisasi tidak laku. Religiositas personal lebih mendapat tempat. One man, one faith.

Ketiga, teori pasar. Ada permintaan masyarakat yang konstan untuk agama, tetapi vitalitas agama tergantung pada pasokan yang disediakan oleh pasar agama (gereja-gereja dan sekte). Pasokan di pasar agama, menentukan vitalitas agama. Keberagamaan disini sangat berkaitan dengan untung rugi. Model keberagamaan didasarkan atas pilihan rasional. Semakin menarik bungkus agama, semakin diminatinyalah ia. Juga sebaliknya.

Saya ingin mendayagunakan tiga pendekatan ini untuk memotret fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia terkini.     

 

Dari Ustadz Seleb Hingga Wisata Ziarah

Ada yang menarik dari suguhan mutakhir dari fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia. Hingga pertengahan tahun 1990an, kita masih melihat bahwa perbincangan tentang agama masih ada di ruang terbatas. Selain di pondok pesantren, agama tidak menjadi konsumsi bebas di panggung terbuka. Tidak banyak tema agama yang diperbincangkan pada era ini.

Kalaupun ada perdebatan tentang agama, maka itu adalah soal kontribusi intelektual muslim dalam melerai ketegangan antara agama dan negara. Jamak diketahui bahwa pada tahun 1980an, intelektual muslim yang digawangi oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) memberikan sumbangan besar dalam membangun sebuah argumen keagamaan tentang penerimaan umat Islam terhadap Pancasila.

Nahdlatul Ulama (NU) misalnya. Pada Muktamar tahun 1984 (didahului dengan Musyawarah Nasional 1983), para kyai menggariskan tentang hubungan Islam dan Pancasila. Salah satu poinnya adalah bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

Inilah salah satu perbincangan tentang agama di ruang publik yang mengemuka pada era 1980an. Dengan kata lain, pada masa ini, perbincangan tentang agama ada dalam tema-tema besar, makroskopis dan ideologis.

Selain tema tersebut, ada perubahan strategi politik pemerintah orde baru pada tahun 1990an. Perubahan ini yang kemudian menentukan langgam kebijakannya. Tahun 1990an adalah momen dimana pemerintah Suharto mulai melihat Islam sebagai kekuatan yang harus diakomodir. Terbentuklah misalnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Bank Muamalat Indonesia, penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) dan lain-lain. Safari Ramadhan Menteri Penerangan Harmoko juga hampir tiap hari ditayangkan TVRI.

 

Kebebasan ekspresi pasca-reformasi

Era reformasi rupanya memberi angin segar untuk berekspresi. Pun pula dalam soal yang berkaitan dengan dakwah agama. Tema dan praktik dakwah tidak hanya soal yang bersifat ideologis tetapi juga tema yang bersifat praktis, mikroskopis.

Perdebatan tentang apakah agama bisa dijadikan sebagai dasar aturan negara tetap masih menguat. Di beberapa daerah fenomena banyak ditemukan. Namun, tak hanya itu. Kita bisa melihat riuh rendahnya saat memasuki bulan Ramadhan misalnya. Begitu banyak muncul “ustadz seleb,” (meminjam judul sebuah buku), yang tiba-tiba menghiasi acara-acara di televisi. Mereka kebanyakan adalah anak muda. Materi dakwahnya biasa-biasa saja, tapi busana yang dikenakannya kemudian menjadi tren di kalangan remaja muslim. Bandingkan dengan tampilan M. Quraish Shihab. Hanya berkopiah, baju koko dan celana hitam.

Fenomena lain misalnya bisa kita lihat dengan mengguritanya situs-situs agama, Islam khususnya. Situs itu cukup beragam isinya. Tapi kebanyakan mereka menyediakan fatwa-fatwa praktis, rubrik tanya jawab tentang hukum dari aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Tak sedikit bahkan dari situs-situs itu yang kerap menebar kebencian kepada kelompok Islam lainnya. Selain situs, banyak juga radio dan televisi yang dikelola oleh kelompok agama.  Mereka melakukan semacam televangelisme.

Tawaran untuk melakukan wisata ziarah juga begitu banyak dijumpai. Paket-paket wisata ditawarkan dengan harga se-kompetitif mungkin. Agen wisata yang membidik segmen umat Kristen misalnya menawarkan paket ziarah ke Yerussalem lengkap dengan kunjungan ke tempat-tempat suci lainnya. Dan masih banyak lagi fenomena keagamaan di era sekarang, dimana batas antara ibadah dengan bisnis sulit untuk dilihat.

Tesis tentang menghilangnya agama di ruang publik di era modern ternyata tidak terbukti. Bahwa era ini tidak menyebabkan seperti yang diramal para penganut teori sekularisasi klasik. Agama sama sekali tidak kehilangan vitalitasnya, justru malah sebaliknya. Bukan sekularisasi yang terjadi tapi desekularisasi. Institusi agama juga tidak kehilangan perannya. Proses individualisasi tidak berjalan sebagaimana yang terjadi di masyarakat Eropa. Agama tetap berada di ruang publik.

Agama, malah seperti hendak memasuki sebuah pasar. Jika ingin diminati oleh khalayak, maka ia harus rajin-rajin memoles diri. Mengemas dengan baik agar ia bisa laku. Layar keberagamaan seperti inilah yang sekarang ini sedang sama-sama kita saksikan.

Kekhawatiran saya adalah saat mereka berlomba-lomba untuk mempercantik kemasan, ada aspek substantif yang terabaikan. Apakah isi dari kemasan itu sesuai dengan pesan terdalam agama yakni keberpihakan kepada mereka yang lemah?

 

Penulis adalah Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home