Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 20:37 WIB | Rabu, 16 September 2015

Dolar Berpotensi Sentuh Rp 15.000 Jika The Fed Naikkan Bunga

Mata uang rupiah sedang dihitung. Nilai tukar rupiah diperkirakan dapat sentuh Rp 15 ribu per dolar AS jika The Fed naikkan suku bunga (Foto: Dedy Istanto/ satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jika bank sentral Amerika Serikat memutuskan menaikkan suku bunga dalam rapat mereka 17 September, nilai tukar rupiah berpotensi melemah menjadi Rp 15.000 per dolar AS. Namun, pelemahan itu diperkirakan sementara.

"Jika the Fed menaikan suku bunganya maka potensi rupiah melemah ke level Rp15.000 per dolar AS cukup terbuka, namun koreksi itu hanya bersifat sementara karena fundamental ekonomi Indonesia masih prospektif," kata Pengamat Pasar Uang Bank Himpunan Saudara, Rully Nova, sebagaimana dikutip oleh Antara.

Sore hari ini nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta kembali melemah sebesar 42 poin menjadi Rp14.450 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp14.408 per dolar AS.

"Rupiah kembali mengalami tekanan menyusul belum terlihatnya perbaikan ekonomi domestik serta kenaikan suku bunga the Fed yang belum pasti," ujar Vice President Research and Analysis Valbury Asia Securities, Nico Omer Jonckheere di Jakarta.

Menurut dia, ekonomi domestik pada semester kedua 2015 tidak akan jauh berbeda dengan periode sebelumnya menyusul kerja pemerintah Indonesia yang masih cenderung lambat.

"Mungkin pada 2016 mendatang, ekonomi Indonesia baru akan mulai tumbuh," katanya.

Dari eksternal, lanjut dia, jika suku bunga Amerika Serikat naik pada September ini, diharapkan ada stimulus baru yang dikeluarkan oleh otoritas moneter AS salah satunya dengan kembali meluncurkan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) untuk menjaga likuiditas pasar.

"Kalau misalnya the Fed menaikan suku bunga dan tidak diikuti dengan QE, akibatnya aset di negara berkembang akan terperosok dalam, karena likuiditasnya mengering di seluruh dunia," katanya.

Sebelumnya, Xavier Jean, analis kredit Standard & Poor, menulis dalam sebuah pernyataan (yang diterbitkan pada hari Kamis, 10/9) bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia kini sedang "berperang melawan dampak tidak langsung dari depresiasi rupiah pada margin keuntungan, neraca dan likuiditas mereka - dan itu adalah pertarungan terhadap sesuatu yang mereka tidak dapat kendalikan.

Jean mengatakan pihaknya tidak tidak mengharapkan bakal adanya gelombang gagal bayar (default) pada perusahaan-perusahaan di Indonesia akibat pelemahan rupiah. Namun, ia juga tidak membantah bahwa tekanan likuiditas dan risiko refinancing akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman dalam mata uang asing yang tidak dilindungi (unhedged)
apabila rupiah menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS.

Jika nilai tukar rupiah bertahan di level itu setidaknya tiga bulan, menurut Jean, akan terjadi gagal bayar pada perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki lindung nilai pada pinjaman mereka.

Menurut dia, ketika rupiah kuat (dalam tahun 2010-2013), perusahaan-perusahaan Indonesia mengambil utang luar negeri yang cukup besar pada tingkat bunga yang menarik. Namun, sebagian besar utang luar negeri ini (dan masih) tidak dilindungi (unhedged) dan dengan demikian rentan terhadap guncangan mata uang.

Bank Indonesia baru mulai mewajibkan perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai utang luar negeri pada Oktober 2014, dan diperkirakan hampir 50 persen utang sektor swasta tidak dilindungi.

Jean menyatakan bahwa pada tahun-tahun 2016-2018 sebagian besar utang ini akan jatuh tempo. Depresiasi rupiah akan menambah beban utang perusahaan ini dan membuat lebih sulit untuk membiayai kembali posisi utang mereka.

S & P mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia yang paling berisiko adalah  yang bergerak di sektor barang konsumsi, manufaktur, agribisnis, media, dan ritel.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home