Loading...
BUDAYA
Penulis: Bayu Probo 18:16 WIB | Selasa, 22 September 2015

Drama 1001 Malam Diplesetkan Berkisah Pengungsi Timteng

Seorang pengungsi Suriah menggendong gadis muda setelah sampan kecil mereka tiba di Pulau Lesbos, Yunani (10/9). Sebagian besar orang membanjiri Eropa sebagai pengungsi, melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan di negara asal mereka, yang memiliki hak hukum untuk mencari suaka, kata PBB, Selasa (11/9). (Foto: Reuters /Dimitris Michalakis)

BEIRUT, SATUHARAPAN.COM – Drama pendek berjudul 1001 Titanics bukan kisah soal putri raja dan jin. Drama yang dipentaskan di Beirut, Lebanon ini, berkisah tentang perjalanan berbahaya pengungsi dari Timur Tengah mengarungi lautan demi menyelamatkan diri ke Eropa.

“Jika ratu dongeng Persia 1001 Malam itu saat ini hidup, dia mungkin mendapati dirinya dalam kapal pertama menuju Eropa,” kata sutradara berdarah Palestina-Inggris, Mahmud al-Hurani, mengomentari Scheherazade sang ratu dongeng 1001 Malam seperti dikabarkan AFP pada Selasa (22/9).

Drama itu—kebanyakan diperankan tanpa suara dan penuh pantomim serta boneka—dibuka di Teater Metro al-Madina, Beirut, sebelum berpindah ke kamp-kamp pengungsi Palestina dan Suriah di seluruh Lebanon.

Dengan empat juta penduduk dalam keadaan normal, termasuk ratusan ribu warga Palestina, Lebanon sekarang menampung 1,1 juta pengungsi dari negara tetangga, Suriah, yang tengah bergolak.

Keadaan memburuk pengungsi Suriah di negara berbatasan dengan tanah air mereka yang dilanda perang itu telah mendorong ribuan pengungsi untuk mencari masa depan yang lebih baik di Eropa, dengan melalui rute ilegal serta berbahaya.

“Masalah itu memaksa kita untuk berpikir mengenai kepanikan ini, yang mendorong orang menaiki perahu kecil, dihantam gelombang, untuk mengarungi perjalanan berbahaya yang penuh dengan penyelundup manusia,” kata Hurani.

Drama setengah jam itu diawali dengan Scheherazade, putri Perdana Menteri Persia yang bercerita kepada raja, Shahriyar, kisah seorang anak lelaki kurus bernama Ahmed yang hidup sederhana di desa di sebuah negara Arab tanpa nama.

Namun, kemudian pecah perang. Roket menghujani desanya yang damai, memaksa Ahmed menghadapi bahaya di lautan lepas.

Drama tersebut diakhiri dengan babak Ahmed yang mencengkeram dadanya sementara kapalnya yang terbuat dari kertas tipis terapung di belakangnya. Para penonton dibuat bertanya-tanya apakah ia selamat atau tidak.

“Apa yang saya dan para pemain ingin lakukan adalah untuk menunjukkan sebab kenapa seseorang meninggalkan negaranya, juga menunjukkan orang-orang itu mengambil rute yang bisa merenggut nyawa mereka,” kata Carmen Omar (21), seorang pengungsi berdarah Palestina-Suriah yang ikut bermain dalam drama tersebut.

Kapal Kertas

Omar, yang berasal dari kamp di Yarmuk di pinggiran Kota Damaskus, mengatakan kepada AFP, ia sendiri tidak sampai membuat keputusan seperti itu karena ia cukup beruntung diterima dalam sebuah program penempatan Prancis.

Drama tersebut menampilkan konflik internal setiap pengungsi, harus memilih antara tinggal di negara yang dilanda perang atau pergi ke suatu negara yang tidak sama dengan dirinya, kata Hurani kepada AFP.

“Kami tidak tahu harus berkata apa. Apakah kita harus menyuruh orang untuk lari dari perang dan menyeberangi lautan? Atau tetap tinggal dan menghadapi kemungkinan mati di negaramu sendiri?” katanya.

Seperih apa pun dilemanya, 1001 Titanics juga memberi ruang bagi harapan serta humor.

Dalam satu babak, Ahmed berusaha menggelindingkan tasnya ke arah salah satu kapal kertas tipis yang mengapung melintasi panggung berwarna biru menyala.

Namun, setiap kali ia mendekati kapal, tasnya menggelinding menjauh, seolah-olah menolak ikut dalam perjalanan berbahaya itu.

“Tas ini tidak ingin meninggalkan negara yang sudah ia kenal betul—atau mungkin ia mendengar berita semalam mengenai apa yang terjadi pada tas-tas lain yang mencoba lari,” kata sutradara berusia 45 tahun itu.

Hurani mengatakan judul drama yang terinspirasi oleh kecelakaan kapal paling terkenal di dunia dan karya literatur besar itu, juga dimaksudkan untuk mengirimkan pesan kepada Eropa untuk memikirkan kembali persepsi mereka terhadap Timur Tengah.

“Timur bukan sekadar keajaiban, sejarah dan dongeng-dongeng seperti dalam 1001 Malam,” kata penulis drama itu.

Namun kawasan itu sudah terbelah oleh konflik “yang memaksa orang-orang untuk menaiki kapal yang praktis terbuat dari kertas... Beberapa di antara mereka adalah perempuan seumur ibu saya, yang ditelan oleh lautan”.

Hurani mengatakan pesan kemanusiaan drama ini melintasi setiap perbatasan.

“Drama ini bisa ditujukan untuk mereka yang lari dari Homs, Idlib di Suriah serta tempat-tempat lain. Ini juga bisa ditujukan untuk mereka yang lari dari Irak, Afghanistan, atau tempat-tempat lain,” katanya.

“Pengungsi tetaplah pengungsi, tak peduli ia berasal dari mana,” katanya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home