Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 14:54 WIB | Jumat, 25 Oktober 2013

Eka Budianta: Bahasa Indonesia dari Internasional ke Nasional

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia Eka Budianta. (Foto Ignatius Dwiana)

SATUHARAPAN.COM – Francois Valentijn (17 April 1666–1727) adalah seorang misionaris, dan penulis buku berjudul ‘Oud en Nieuw Oost-Indiën’ (Timur Lama dan Baru-Hindia), sebuah buku tentang sejarah perusahaan dagang Belanda VOC dan negara-negara Timur Jauh.

Francois Valentijn tinggal lama di Indonesia. Dia pernah pergi ke Bandung pada tahun 1691 dan mencatat di Bandung pada saat itu hanya ada enam rumah. Dia juga mengatakan bahwa istana Gubernur Jenderal di Batavia ditanami teh.

Tulisan Francois Valentijn adalah sumber yang mengatakan kekhasan dari bahasa Indonesia yang dulu bernama bahasa Melayu.

“Valentijn ini termasuk orang awal yang mengakui bahasa Indonesia, bahasa Melayu, sebagai bahasa internasional yang dipakai orang-orang dari Eropa sekalipun.” Kata Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Eka Budianta.

Lanjutnya,“Misalnya orang Inggris ketemu sama orang Belanda pakai bahasa Melayu di mana pun. Orang Jepang ketemu orang India pakai bahasa Melayu. Orang India ketemu orang Portugis pakai bahasa Melayu.”

Bahasa Melayu itu merupakan bahasa laut, dan ditempa oleh laut sehingga gampang dikuasai.

Menurut Eka Budianta, keistimewaan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu sebagai lingua franca. Tidak semua bahasa dapat menjadi lingua franca. Lingua franca itu merupakan bahasa pengantar dan harus mudah dikuasai semua orang.

Bahasa Melayu dan Misi Kristen

Ketika orang-orang Eropa ingin masuk ke China untuk menyebarkan agama Kristen sangat kesulitan. Bukan saja faktor kebudayaan tetapi  juga menguasai bahasa Mandarin tidak mudah. Berbeda dengan bahasa Melayu.

Bahasa Melayu mudah dikuasai. Karena itu bahasa ini merupakan bahasa non Eropa pertama yang digunakan untuk menerjemahkan Injil.

Jong Java

Ketika Kongres Jong Java pada tahun 1926 ada hal menarik. Dalam Kongres ini para peserta tidak bisa kesulitan berbicara dalam bahasa Jawa. Karena di dalam Kongres itu dihadiri pelbagai macam peserta dengan latar belakang bermacam-macam, baik usia maupun pekerjaan.

Ketika mempersilakan orang yang lebih tua atau seorang yang punya jabatan lebih tinggi maka harus menggunakan bahasa Jawa tinggi yang disebut Krama. Tetapi ketika berhadapan dengan orang sebaya atau lebih muda maka menggunakan bahasa Jawa biasa yang disebut Ngoko.

Sementara suasana Kongres merupakan suasana yang cair, baik orang yang lebih tua, punya jabatan lebih tinggi, orang muda, berkumpul, sehingga susah dan kebingungan dalam menggunakan bahasa Jawa yang tepat.

“Maka pada tahun 1926, salah satu keputusan Jong Java adalah menggunakan bahasa gampang, yaitu bahasa Melayu,” kata penulis dan mantan jurnalis ini.

Dua tahun sebelum Sumpah Pemuda 1928, Jong Java sudah menetapkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home