Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta 12:06 WIB | Jumat, 20 September 2013

Elga Sarapung: Pemimpin Agama Harus Bersatu dan Bertoleransi

Joan Elga Sarapung. (foto: flickr.com)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Sedunia (WCC) menampilkan beberapa pandangan berbeda dalam menyikapi politisasi agama di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa. Hal tersebut merupakan salah satu inti pokok diskusi rutin WCC yang juga turut diselenggarakan oleh Komisi WCC bidang Hubungan Internasional, selama 16-18 September 2013 yang berlangsung di Pusat Ekumenis di Jenewa, Swiss.

Elga Sarapung dari Indonesia menyatakan bahwa saat ini penting untuk memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. “Saat ini pemimpin dari semua agama sudah patut dan selayaknya memiliki keberanian dialog antar iman dan terus menerus dengan pemerintah, guna mengetahui cara terbaik untuk hidup dalam bersama dan dalam keragaman,” kata Elga.

Elga Sarapung mengatakan untuk memastikan hak-hak agama minoritas dilindungi, maka pemimpin agama harus bersatu dan bertoleransi dalam keragaman.

Konsultasi selama tiga hari tersebut menyoroti masalah utama pada politisasi agama dan bagaimana fenomena ini memberikan kontribusi terhadap diskriminasi dan penganiayaan terhadap minoritas agama di seluruh dunia. Kegiatan ini menyatukan tokoh agama, aktivis sosial dan HAM, diplomat, akademisi, dan pemuka agama.

Pendeta Lesmore G. Ezekiel mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi di Nigeria saat ini akibat tidak dipatuhinya Undang Undang di Nigeria dimana tidak lagi ditemukan kebebasan berpikir dengan hati nurani, apalagi kebebasan beragama.

“Saat ini fanatisme agama telah memecah belah pandangan politik di Nigeria,” kata Ezekiel. Ezekiel menambahkan bahwa fanatisme merupakan salah satu faktor merebaknya intoleransi di negara itu, salah satu contohnya adalah adanya penyebaran paham mempengaruhi orang-orang Kristen di utara dan Muslim.

“Oleh karena itu, politik harus dipengaruhi secara positif oleh agama, lalu jangan sampai agama dimanipulasi oleh fanatik politik untuk keuntungan pribadi mereka,” tambah Ezekiel.

Joseph Daher, peserta asal Suriah mengatakan bahwa saat ini ada persamaan antara konteks sejarah Kristen dan Kurdi dengan yang terjadi saat ini, karena begitu banyaknya konstruksi politik yang sulit dipahami dan terlalu banyak percampuran antara politik dan agama   

Daher mengatakan bahwa sekularisme dalam konteks konflik Suriah yakni cara meredakan politisasi agama. “Sekularisme merupakan bagian untuk melepaskan agama dari partai politik, dan membiarkan orang menerima agama dengan bebas, tanpa penindasan negara. Sekularisme sesungguhnya tidak membedakan asal sekte dan etnis,” kata Daher.  

Selanjutnya pembicara dari Asia, Dr. Charles Amjad Ali seorang akademisi asal Pakistan memaparkan tentang sejarah kolonial dan hukum, dan Charles Amjad mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun kediktatoran bagi Pakistan karena penganiayaan terhadap kepercayaan minoritas di Pakistan.

Dia mengatakan dalam hal demokrasi sejati dan hak-hak, yang minoritas mendapatkan status istimewa dan perlindungan khusus.

“Oleh karena itu, semua minoritas harus berjuang, dan terus berjuang sangat keras, untuk demokrasi dan hak bagi semua orang Pakistan,” lanjut Amjad Ali.

Prof Faizan Mustafa selaku wakil rektor Universitas Hukum Nasional di Hyderabad, mengatakan bahwa meskipun jaminan konstitusional kebebasan beragama di India, tujuh negara bagian di India telah mengeluarkan undang-undang diskriminatif terhadap pemeluk kepercayaan minoritas salah satunya adalah di Hyderabad.

Pengacara Subrata Chowdhury, wakil presiden Dewan Persatuan Hindu Budha Kristen menggemakan pandangan ini ketika ia menyatakan bahwa politisasi agama telah sejak dahulu  menghancurkan, akan tetapi pandangan yang sempit seperti ini terus-menerus dipelihara di Bangladesh.

Berbicara dari pengalamannya di Malaysia, Rev Dr Philip Thomas mengatakan bahwa meskipun konstitusi Malaysia menetapkan kebebasan beragama, agama minoritas menghadapi diskriminasi dan menjadi korban perlakuan istimewa dari agama lain sebagai akibat dari tumbuhnya politisasi agama.

Pada bagian akhir dari konsultasi ini, membahas usulan-usulan dan pokok-pokok doa dan hak-hak beragama bagi kaum minoritas agar jangan ada politisasi berlandaskan agama yang menjadi agenda nyata dalam Sidang Raya ke-10 WCC di Busan 30 Oktober-8 November 2013 mendatang. (oikumene.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home