Loading...
INSPIRASI
Penulis: Tjhia Yen Nie 01:00 WIB | Rabu, 15 Oktober 2014

Gunung Es Itu Mencair Karena Seulas Senyum

Saya menyiapkan hati, lebih tepatnya menebalkan telinga, berusaha tidak berserobok mata dengannya, bersikap cuek.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Beberapa  kali saya menghadapi masalah jika berinteraksi dengan dia.  Perkataan-perkataannya yang setajam pisau kadang menggores dan menusuk perasaan.  Belum lagi dengan sindiran yang entah disengaja atau tidak dilontarkan secara terbuka terhadap saya.  Hal ini membuat saya mencari aman, yaitu menghindarinya.

Seperti main petak umpet, saya berusaha melakukan hal yang tidak berhubungan dengannya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya datanglah kejadian tak terduga, saya harus menghadapinya.  Perasaan kesal tebersit, tanpa sadar saya menghitung kesalahan-kesalahannya menjadi gunung es dalam hati saya.  Tetapi sebagai seorang dewasa, tentu saja petak umpet ini harus disudahi karena kepentingan yang lebih utama.

Pertama-tama, saya menyiapkan hati, lebih tepatnya menebalkan telinga, berusaha tidak berserobok mata dengannya, bersikap cuek.  Percakapan dilakukan seadanya, secepat mungkin.  Sampai akhirnya saya mendapatinya sedang memandang saya, dan mata saya pun terkunci menatap matanya. Udara di antara kami serasa membeku dalam beberapa detik, dan di tengah suasana tanpa kata itu dia tersenyum. Hal yang tak terduga, karena itu saya pun balas tersenyum padanya. Tiba-tiba, hati ini terasa hangat, dan gunung es itu mencair. Kekesalan akan perlakuannya di masa lalu yang sebelumnya menimbulkan sakit, lenyap tak berbekas.  Perasaan tersakiti itu meleleh begitu saja.

Ternyata, seulas senyumlah yang mencairkan gunung es di antara kami.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home