Loading...
HAM
Penulis: Equivalent Pangasi 14:00 WIB | Selasa, 04 Maret 2014

Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua: Wajah Gus Dur bagi Papua

Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua: Wajah Gus Dur bagi Papua
Acara Bicara Buku berdasarkan buku berjudul Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua karya Titus Pekei pada Jumat (28/2) di Perpustakaan MPR RI, Jakarta. (Foto: Equivalent Pangasi)
Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua: Wajah Gus Dur bagi Papua
Titus Pekei, putra Papua penulis buku Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua. (Foto: papuapost.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyunting buku Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua, Apul D Maharadja, menyebut buku tersebut sebagai ungkapan orang Papua mengenai mantan Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan karyanya dalam merajut kesejahteraan Papua.

Dalam acara Bicara Buku: Gus Dur, Guru dan Masa Depan Papua di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR RI, Jumat (28/2), Apul mengungkapkan bagaimana penulis buku, Titus Pekei, berusaha merangkai kisah perjalanan karya Gus Dur bagi Papua.

“Buku ini sebenarnya serpihan-serpihan kisah yang terpisah, yang penulis, Bapak Titus Pekei coba untuk himpun kembali,” ujar Apul.

Mengenai konten buku, Apul mengungkapkan bahwa klimaks dari buku ini berada pada kisah perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua.

“Puncak buku ini adalah ketika Gus Dur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, karena itu satu-satunya yang orang Papua inginkan,” Apul mengungkapkan.

Senada dengan Apul, penerbit buku Pustaka Sinar Harapan yang diwakili Irna Permanasari mengatakan, “penamaan Irian Jaya itu memang sangat politis karena saat itu diciptakan oleh orang Jawa yang bernama Sugoro yang adalah singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands. Bayangkan, apalah artinya? Tanah yang begitu besar dan makmur hanya diberi nama seperti itu.”

Apul mengapresiasi upaya Titus yang hendak mengungkapkan karya Gus Dur bagi Papua dengan gaya penulisan khasnya sehingga tidak mau terlalu banyak mengubah apa yang dituangkan.

“Sebagai editor, saya mengikuti alur berpikir penulis, di mana penulisnya adalah orang asli Papua. Buku ini adalah apa yang ia tangkap tentang Gus Dur, sehingga saya tidak terlalu berani untuk mengubah apa yang telah ditulis di dalamnya,” Apul menjelaskan.

Ia menambahkan, “saya berusaha mengikuti apa yang ia katakan. Karena itu, jika ada yang berbeda dengan apa yang kita bayangkan tentang Gus Dur, ya itulah pandangannya tentang Gus Dur.”

Baik Irna maupun Apul mengatakan Gus Dur tidak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora, “karena itu tidak ada bedanya dengan bendera organisasi lain yang memiliki bendera atau panji-panji organisasi,” ujar Irna.

“Dan inilah yang menginspirasi warga Papua. Bagaimana beliau sebagai tokoh dapat menjadi inspirasi warganya,” ucap Apul.

Lebih lanjut Apul memberikan catatannya atas buku tersebut, “ketika otsus (otonomi khusus, Red) diterima dan diberlakukan di Papua, harusnya justru menolong Papua. Semua dana yang dialirkan harusnya mengembangkan Papua, untuk memperbaiki dan menyejahterakan Papua.”

“Namun yang terjadi adalah, saya sendiri ketika berkunjung ke Papua masih melihat ketimpangan antara Papua dibandingkan wilayah lainnya. Di sana, orang-orang Papua masih sangat terpinggirkan. Padahal, negara kita ini kan negara kesatuan. Jadi kesan saya setelah membaca buku ini adalah otsus tanpa solusi,” lanjutnya lagi.

Hal itulah yang kemudian membuat Apul dan Pustaka Sinar Harapan tertarik untuk mengolah dan menerbitkan buku karya putra Papua, Titus Pekei.

“Saya menganggap buku ini mengungkapkan kasus yang perlu diungkap, yang perlu diketahui seluruh bangsa Indonesia,” pungkas Apul.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home