Loading...
BUDAYA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 11:01 WIB | Minggu, 24 Januari 2016

“Harus Ada Kesepahaman Budaya antara Masyarakat dan Pemerintah”

Suasana Kunjungan Mufakat Budaya Indonesia di Gedung Nusantara III DPD RI, hari Jumat (22/1). (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Harus ada kesepahaman yang sama tentang kebudayaan antara masyarakat dengan pemerintah. DPD bisa melakukan suatu dorongan yang kuat kepada eksekutif untuk mendukung kebudayaan,” kata Radhar Panca Dahana, Koordinator Mufakat Budaya Indonesia, kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Irman Gusman, dalam acara kunjungan di Gedung Nusantara III Kompleks Senayan, Jakarta.

Mufakat Budaya Indonesia mengunjungi Irman agar dalam proses legislasi ada pertimbangan tentang kebudayaan.

“Kami datang dengan maksud agar proses kebudayaan ada perbaikan ke arah yang lebih baik, karena sampai detik ini masih ada tekanan, ancaman, pembubaran, bahkan pemukulan terhadap kerja-kerja kebudayaan. Dewasa ini, pemusnahan kebudayaan terjadi secara sistemik. Kami berharap agar kebudayaan dapat diimplementasikan dalam kebijakan. Rencana UU Kebudayaan tanpa perubahan sama sekali, padahal secara rasional dan argumentatif akademik sudah kami sampaikan langsung kepada Ketua Komisi X DPR RI kala itu,” ujar Radhar.  

Tidak hanya Radhar selaku koordinator Mufakat Budaya Indonesia yang mengungkapkan aspirasi serta pesan bagi Irman selaku ketua DPD RI yang dianggap mampu mendengar, menampung, menyelaraskan, dan menyampaikan aspirasi mereka ke tahap eksekutif, anggota Mufakat Budaya Indonesia lainnya juga turut menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia.

Menurut Amoroso Katamsi, sebagai seorang aktor ia melihat kebudayaan bisa berkembang apabila unsur-unsur yang mendukungnya dilaksanakan. “Di Indonesia banyak budayawan yang menjadi bagian dari masyarakat. Ada pemerintah yang mengatur regulasinya. Untuk bekerja sama harus ada kesepahaman tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Sekarang ini, kebudayaan sering direduksi yaitu kebudayaan dianggap sama dengan kesenian. Hanya kesenian yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Padahal, kebudayaan bukan hanya kesenian.”

“Kami semua berpendapat bahwa daerah sangat penting dalam mendukung kebudayaan nusantara, kebudayaan nasional, dan kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, pembinaan kebudayaan di daerah menjadi penting, begitu juga di pusat. Pembinaan adalaah kewajiban dan tugas pemerintah. Namun, pembinaan kebudayaan kebanyakan menempatkan orang-orang yng tidak paham tentang kebudayaan,” ia menambahkan.

“Pendidikan kebudayaan di daerah harus berdasarkan pada local knowledge dan local identity, Tidak hanya kurikulum yang berbasis kontinental dan yang diambil dari luar negeri saja. Muatan lokal harus diperhatikan di sekolah-sekolah,” kata Dolorosa Sinaga, yang berprofesi sebagai dosen seni dan pematung.

Adi Adrian, keyboardist “KLa Project”, menyampaikan bentuk kekhawatirannya mengenai ciptaan atau karya musik anak bangsa yang saat ini semakin sulit dihargai.

“Saya takut Indonesia kekurangan ciptaan. Karya musik sekarang sulit dihargai. Hal ini juga diperparah dengan hadirnya budaya digital yang kehadirannya tidak diterjemahkan dengan baik, tetapi justru malah memperburuk kebudayan membeli bentuk fisik karya. Zaman sekarang orang tidak lagi tertarik membeli karya musik dalam bentuk fisik CD, tetapi mencuri musik dengan download di gadget,” katanya.

“Negara kurang mengapresiasi inisiatif lokal dari para kreator. Pemerintah tidak lagi responsif dan tidak membuka ruang untuk para inisiator lokal. Negara belum hadir dalam memberikan jawaban bagi bagaimana kreatifitas anak bangsa bisa bertumbuh dan bersaing dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah semakin dekat. Namun, saya optimis anak-anak bangsa mampu,” kata Edy Utama yang merupakan budayawan, seniman, sekaligus jurnalis.

“Tidak adanya kesepahaman pemerintah dengan masyarakat mengenai kebudayaan dan perannya dalam pembangunan bangsa, negara juga harus memahami kebudayaan tiap daerahnya agar tidak terjadi seperti di Mentawai, ketika pemerintah memberikan bantuan berupa beras padahal mereka makanan pokoknya adalah sagu. Hal yang sederhana tapi tentu sangat mengena,” kata aktris, Olivia Zalianty.

Mahapandita Utama Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Suhadi Sendjaya, beranggapan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai perlahan-lahan ingin kembali pada kebudayaannya karena menyadari bahwa budaya sebagai suatu dasar yang sangat penting bagi pembangunan bangsa. “Namun, hal itu masih saja merupakan tantangan besar apabila mengingat juga semakin banyaknya juga orang Indonesia yang semakin tidak tertarik dan meninggalkan identitas kebudayaan mereka sendiri,” katanya.

“Saya mendapatkan banyak pelajaran penting dari pertemuan ini, bagaimana kita harus memahami konteks membangun manusia Indonesia. Kebudayaan jangan sampai direduksi dan hanya dianggap sebatas kesenian dan birokrasi saja. Komitmen negara sebenarnya sudah ada untuk menempatkan kebudayaan, tetapi masih sangat kurang. Oleh karena itu, ini pekerjaan besar kita bersama,” ucap Irman.

Irman menambahkan, “DPD akan mencoba merespon ini. Semoga bukan hanya hari ini saja pertemuan seperti ini bisa terjadi, setelah ini DPD akan menawarkan adanya seminar dan dialog yang mengundang para tokoh untuk menyamakan presepsi tentang kebudayaan. Dengan komunikasi dan pertemuan yang akan terus ada, maka bukan tidak mungkin musyawarah kebudayaan menjadi hal yang mainstream bagi pemerintah.”

Saat ini pembahasan legislasi ada tiga, yaitu DPR, DPD, dan presiden. DPD mendapatkan delapan prolegnas yang tiga diantaranya yaitu ekonomi kreatif, wawasan nusantara, dan koperasi. Irman mendukung bahwa masyarakat budaya harus turut mengisi dalam prolegnas yang berkaitan dengan kebudayaan nantinya.

“Budayawan, seniman, filsuf, actor, aktris, musisi, sastrawan, dan lain-lain tentu harus berkontribusi dalam perencanaan pemerintah itu demi agar menjadi efektif dan mengacu pada perbaikan proses kebudayaan di tanah air. Dalam membangun Indonesia jangan lupa membangun jiwa, jangan hanya raganya. Jiwa Indonesia adalah kebudayaan,” kata Irman.

Mufakat Budaya Indonesia melihat DPD bisa menggerakkan kesepahaman yang sama mengenai kebudayaan. Di tingkat regulasi maupun GBHN mereka berharap agar jangan sampai kesenian yang akan diperbaiki oleh birokrasi, tetapi justru dihancurkan olehnya.

“Kita sudah berbicara dengan orang yang tepat, mudah-mudahan dengan adanya kerja sama seperti ini bisa mengembalikan kebudayaan dalam posisi dan peranan yang sesungguhnya. Negara ini jika dibangun dengan pondasi kebudayaan akan mendapatkan jaminan masa depan yang lebih baik. DPD harus bisa merangsang daerah yang sudah berprestasi menjaga kebudayaan untuk tetap memperhatikan kebudayaan serta merangsang daerah yang belum memperhatikan kebudaayan menjadi paham dan melestarikan budaya. Selain itu agar masyarakart pada akhirnya ke depan dapat memilih kepala daerah yang peduli kebudayaan,” ujar Radhar.

Kerja sama Mufakat Budaya Indonesia dengan DPD dalam bertukar pikiran dan menciptakan kesepahaman bersama nantinya diharapkan mampu dalam implementasi, regulasi, dan produk kreatifnya terjadi sinergisitas yang baik.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home