Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 20:27 WIB | Minggu, 16 Agustus 2015

HUT RI Puluhan TKI Demo KJRI Hong Kong

Gedung KJRI Hong Kong. (Foto: Twitter @kjrihongkong)

HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Puluhan tenaga kerja Indonesia (TKI) melakukan unjuk rasa di depan gedung Konsulat Jenderal RI di Hong Kong, menuntut kepedulian Pemerintah RI dengan melegalkan kontrak mandiri bagi TKI yang mengalami pemutusan kontrak kerja, sebelum masa dua tahun. 

"Kami mengecam peraturan Konjen RI Hong Kong yang mengharuskan TKI korban pemutusan kontrak sebelum masa dua tahun, mendapat surat pelepasan dari PJTKI/agen lama agar bisa pindah ke PJTKI/agen baru," kata salah seorang orator unjuk rasa, Rosi, di Hong Kong, Minggu (16/8) sore.

Dalam tuntutan tertulisnya, para TKI itu mengatakan tidak ada PJTKI/agen lama yang bersedia memberikan surat izin secara sukarela untuk memiliki PJTKI/agen baru meski TKI bersangkutan telah melunasi potongan biaya penempatan.

Untuk boleh pindah TKI yang telah melunasi potongan biaya penempatan tetap diharuskan membayar agen lama sebesar 1.000 hingga 3.000 dolar Hong Kong.

"Bagi yang lunas potongan biaya penempatan diwajibkan untuk tetap melanjutkan sisa potongan ditambah biaya pindah agen dan potongan gaji untuk agen baru, sehingga total potongan yang dipungut agen baru mencapai lima hingga 12 bulan," kata Rosi.

Bahkan, ada salah seorang TKI yang harus membayar pungutan hingga 42.000 dolar Hong Kong, lanjut pernyataan tersebut.

Pelarangan pindah agen adalah bagian dari sistem `online` yang diberlakukan Konjen RI Hong Kong sejak 2010 yang bertujuan melarang TKI berganti agen sebelum melunasi potongan biaya penempatan.

Sistem `online` yang dimaksud bertujuan memastikan PPTKIS dan agen di Hong Kong memiliki `job order` (perjanjian kerja sama resmi) dan terdaftar di KJRI. Dalam sistem tersebut PPTKIS wajib mengirimkan data-data calon TKI ke agen-agen di Hong Kong, begitu pun sebaliknya.

Dalam sistem tersebut, setiap PJTKI hanya boleh bekerja sama dengan maksimal 10 agen yang telah terakreditasi.

"Sistem ini berfungsi pula untuk memantau apakah TKI bersangkutan sudah melunasi potongan biaya penempatan, jika belum maka aplikasi untuk mendapatkan agen baru tidak akan diproses KJRI," kata pernyataan tersebut.

Kondisi itu, tentu saja membuat banyak TKI yang terpaksa menjadi pekerja yang sudah tinggal melebihi waktu atau `overstayer` di Makau, dan menjadi korban kekerasan atau terlibat kegiatan ilegal dan berkasus di penampungan-penampungan. 

"Karena kami butuh bertahan hidup. Gaji 4110 dolar Hong Kong, dengan kenaikan harga di Hong Kong dan Indonesia, sama sekali tidak tidak menutup biaya hidup, bahkan untuk mengirim ke keluarga di Indonesia," ungkap pernyataan lebih lanjut.

Terkait itu, para TKI menuntut Pemerintah RI untuk mencabut aturan larangan pindah agen, segera memberlakukan pilihan bagi TKI untuk kontrak mandiri, menciptakaan sistem pengaduan dan ganti rugi bagi korban "overcharging", hapus KTKLN, ciptakan UU Perlindungan yang mengacu pada Konvensi PBB 1990dan Konvensi ILO C 189.

"Di usia yang sudah memasuki 70 tahun, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia lebih memperdulikan nasib para TKI di luar negeri. Mereka penghasil devisa negara, namun nasibnya, tidak diperhatikan," kata Romiyantun, TKI asal Madiun (Jawa Timur) yang telah enam tahun bekerja di Hong Kong.

"Kami ingin sebenarnya pulang, namun di Indonesia kami kerja apa? akhirnya kami bekerja di luar negeri, namun nasib kami pun kurang dipedulikan," katanya, yang sempat bekerja pula di Singapura dan Taiwan tersebut. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home