Loading...
OPINI
Penulis: Woro Wahyuningtyas 00:00 WIB | Kamis, 16 Juli 2015

Idul Fitri Bagi Seorang Protestan

SATUHARAPAN.COM - Setiap menjelang Ramadan ada perasaan istimewa dalam diri saya, bukan karena saya akan melakukan ritual puasa selayaknya kaum Muslim, tetapi lebih kepada romantisme masa kecil saat bulan Ramadan. Betapa menyenangkan sepanjang sore berada di sebuah Masjid, sambil ikut mengaji walaupun terbata-bata, dan lari berhamburan dari Masjid saat bedug Mahgrib menuju warung terdekat untuk menenggak segelas es. Pengalaman masa kecil ini sering memanggil, ada sebuah kerinduan di sana. Tetapi waktu berlalu, tentu tidak bisa mengulang hal yang sama di masa kecil.

Kami memang tinggal di perkampungan yang seluruhnya beragama Islam (kecuali keluarga kami), beberapa masih Islam abangan. Mereka tidak ke masjid, tidak berpuasa, tetapi di kolom agama kartu identitas tertulis Islam. Di sekolah, saya sendiri tidak mendapatkan pelajaran agama Kristen, karena memang tidak ada guru yang mengajar. Sampai kelas VI SD, saya masih mengikuti pelajaran agama Islam. Di saat itu pula, setiap hari saya  masih ikut sholat dan mengaji di Masjid kampung kami. Orang tua saya tidak pernah melarang kegiatan itu, pun adik saya yang saat ini menjadi pendeta pernah mengumandangkan adzan waktu kami masih kanak-kanak.

Kehidupan “rohani” kami tetap ditempa di dalam rumah, selepas sore atau maghrib kami pulang ke rumah, saat itu pula, kedua orang tua kami mengajarkan kami doa-doa ala Kristen Jawa. Membacakan kami Alkitab walaupun tidak setiap hari. Rasanya, benih keberagaman telah tertanam diri kami sejak kami dini.

Menghayati dan Merayakan Ramadan

Penghayatan saya terhadap bulan Ramadan tentu beda dengan cara saudara muslim memaknainya. Esensi puasa dalam tradisi agama-agama adalah mengekang hawa nafsu, mulai dari makan, minum sampai seksual. Qurais Shihab menulis bahwa ada gunung tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad membaja, sebentar lagi akan tambah cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tempat tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepas dahaga.

Andres Moler, peneliti antropologi agama asal Swedia dalam bukunya Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2005), menuturkan bahwa puasa juga ada dalam tradisi Yahudi, Katolik dan Protestan serta agama-agam India. Dalam tradisi Yahudi, lanjut Moller, sebagaimana termahtub dalam kitab sucinya Yom Kippur atau Hari Taubat, hanya terdapat satu hari untuk berpuasa. Meskipun demikian dalam pengasiangan di Babilonia, beberapa hari lagi ditambahkan untuk berpuasa. Tujuannya, untuk memperingati hari-hari atau momen penting dalam sejarah Yahudi.

Dalam tradisi Kristiani saat ini, pada umumnya beranggapan Isa al-Masih (Yesus Kristus) tidak secara tegas menentukan masalah puasa. Dengan begitu, hal serupa diserahkan kepada gereja. Tapi, sebagian umat biasanya berpuasa pada hari Rabu dan Jumat dalam minggu Paskah. Dalam kitab-kitab Injil juga dituliskan, bagaimana Yesus Kristus melakukan puasa selama 40 hari. Tradisi tersebut memang tidak diteruskan oleh gereja. Sering kali rujukan dan tafsir yang digunakan untuk menjelaskan puasa selain pada pra paska, tetapi juga soal pertobatan selama puasa.

Menghayati dan marayakan Ramadan ini mungkin lebih dekat bila disandingkan dengan tradisi puasa pra paska, sebagaimana sebagai penganut Protestan saya melakukan ritual tersebut. Tidak dengan cara berpuasa penuh selama 40 hari, tetapi dengan kesadaran berpuasa dengan cara yang lain. Penghayatan saya pada puasa pra paska ini, hampir tidak berbeda dengan penghayatan saya terhadap puasa Ramadan ini. Merayakan bersama mereka, tanpa harus saya melakukan ritual serupa. Toh, saya seringkali menikmati undangan buka bersama, walaupun di hari tersebut saya tidak berpuasa.

Rayakan Kemenangan!

Puncak dari bulan Ramadan adalah Hari Raya Idul Fitri, yang sering dipahami sebagai hari kemenangan melawan segala macam godaan selama melakukan puasa Ramadan. Perayaan kemenangan ini tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim. Lihatlah, di Indonesia perayaan ini dilakukan oleh semua penganut agama-agama. Hampir semua dalam hari libur yang ada mereka bersama-sama melakukan ritual mudik, pulang kampung. Mengunjungi orang tua, bertemu dengan sanak saudaranya. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam fenomena mudik Idul Fitri di Indonesia.

Merayakan Idul Fitri ini adalah sebuah tradisi juga di dalam keluarga kami. Keluarga besar kami yang beragam agama dan keyakinannya bisa berkumpul dan melakukan ritual saling memaafkan di hari Idul Fitri. Mungkin ini tidak dilakukan oleh banyak keluarga Kristiani, tetapi, bagi kami, moment ini jadi moment penting untuk saling melakukan refleksi satu dengan yang lain, atau hal paling sederhana adalah temu kangen di keluarga.

Kemenangan serupa ini bisa dirasakan oleh penganut Kristiani di saat Paska. Memahami Idul Fitri ini, sama seperti saya merayakan Paska, walaupun dengan konteks yang berbeda dan tidak bisa disamakan dari tataran teologisnya. Tetapi momentum Idul Fitri ini bisa menjadi momentum besar bersama seluruh umat di Indonesia, melakukan refleksi atas kehidupan yang telah berjalan, bahkan bisa menjadi momentum “re-charging” kekuatan untuk terus mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan kota di mana kita tinggal.

Selamat merayakan kemenangan!

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen), Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home