Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:59 WIB | Rabu, 12 November 2014

Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Suasana RDPU Komisi VIII DPR dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), P2TP2A Jawa Barat, Komnas PA, Komisi Nasional Perempuan, dan Unit Pelayanan Perempuan dengan Anak Kepolisian Daerah Metro Jaya, di Ruang Rapat Komisi VIII DPR, Senayan Jakarta Pusat, Rabu (12/11). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak. Demikian ucap Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), P2TP2A Jawa Barat, Komnas PA, Komisi Nasional Perempuan, dan Unit Pelayanan Perempuan dengan Anak Kepolisian Daerah Metro Jaya, di Ruang Rapat Komisi VIII DPR, Senayan Jakarta Pusat, Rabu (12/11).

Menurut Arist, kondisi darurat tersebut dikuatkan dengan fakta dan data pengaduan kekerasan terhadap anak yang senantiasa diterima Komnas PA. Sejak tahun 2010 hingga 2014, ia menunjukkan jumlah pengaduan pelanggaran hak atas anak terus meningkat.

“Data yang dikumpulkan dan dianalis Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas PA, yang bersumber dari laporan masyarakat lewat pelayanan pengaduan langsung, pemberitaan media massa, dan pengelolaan data dan infomasi yang dikumpulkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) pada 34 provinsi di seluruh Indonesia, tercatat 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak, tersebar di 34 kota dan 179 kabupaten,” kata Arist.

“58 persen dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual terhadap anak, selebihnya 42 persen adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak, untuk tujuan eskploitasi seksual komersial, penculikan dan penjualan anak, serta kasus-kasus perebutan anak,” dia menambahkan.

Kekerasan pada Anak Menakutkan

Arist menyampaikan bentuk kekerasan yang dialami anak-anak Indonesia beragam dan menakutkan. Kasus seperti oral seks, sodomi, fedofilian, perkosaan, dan perbuatan cabul, umumnya mendominasi kasus yang terjadi di Indonesia. Yang lebih memprihatikannya, 82 persen korbannya adalah anak-anak dari keluarga miskin.

Sementara, lanjut dia, pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak datang dari orang terdekat, seperti orangtua kandung, orangtua tiri, abang, paman, dan kerabat terdekat keluarga, serta guru, penjaga sekolah, satpam, sopir antar-jemput, pedagang keliling, hingga oknum penegak hukum.

Ketua Umum Komnas PA itu juga menyampaikan hasil analisis yang berdasarkan pada pengaduan masyarakat. Kata dia, faktor penyebab terjadi kejahatan seksual terhadap anak adalah merajalelanya pengaruh pornografi dan porno-aksi, bahkan pornografi telah menjadi candu dan penyakit di tengah masyarakat yang sulit untuk disembuhkan. Akibatnya, berdampak pada runtuhnya ketahanan keluarga atas nilai-nilai agama, sosial, degradasi nilai solidaritas antar sesame, serta pengaruh gaya hidup yang tidak diimbangi dengan keseimbangan pendapatan ekonomi keluarga.

“Sementara, para penegak hukum belum menunjukkan keberpihakan pada anak sebagai korban dalam menangani perkara kehahatan seksual terhadap anak. Mereka masih menggunakan kaca mata kuda dalam menangani perkara kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak,”, dia menjelaskan.

Kata dia, banyak hakim memutuskan bebas bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan orang dewasa, seperti apa yang terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Labuhan Batu, PN Rantauparapat, PN Purwokerto, PN Tapanuli Utara, PN Bandar Lampung, selalu dengan alasan tidak cukup bukti. Padahal, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah mensyaratkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual adalah minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun kurungan penjara.

Revisi UU Perlindungan Anak

Oleh karena itu, Komnas PA mendorong DPR dan Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi pasal 81, 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan mengubah hukuman tiga tahun minimal dan 15 tahun masimal bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak menjadi minimal 20 tahun, maksimal seumur hidup ditambah dengan pemberatan hukum kebiri melalui suntik kimia bagi pelaku kejahatan seksual dewasa.

Mereka juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan deteksi dini terhadap pelanggaran terhadap anak dengan menguatkan kelembagaan perlindungan anak, pembuatan sistem pendataan dan sistem manajemen perlindungan anak serta membangun sistem rujukan perlindungan anak berskala nasional di Indonesia.

Tidak ketinggalan, Komnas PA juga mendorong peran pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika, aparat penegak hukum, masyarakat, tokoh masyarakat dan agama, kalangan kampus atau akademisi, untuk bersama-sama memerangi pornografi dan porno-aksi, lewat gerakan nasional darurat kejahatan pornografi dan situs-situs pornografi anak.

Dengan demikian, menurut Arist, Instruksi Presiden (Inpres No.5 tahun 2014) tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak dapat diimplementasikan dalam berbagai kerangka melawan dan melindungi anak dari berbagai ancaman kejahatan seksual. Untuk memerangi darurat kejahatan seksual terhadap anak.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home