Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 16:39 WIB | Rabu, 03 Desember 2014

Indonesia Terdepan dalam "Booming" Belanja Online ASEAN

Ponsel pintar diperkirakan akan menjadi pemicu utama booming belanja online di Asia Tenggara (Foto: epages.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Indonesia diharapkan bakal berada paling depan dalam booming  belanja online di Asia Tenggara (ASEAN). Ini terjadi seiring dengan ledakan akses internet di kawasan serta semakin banyaknya investor yang menanamkan uang pada perusahaan-perusahaan pemula (startup) di bisnis ini.

Menurut laporan terbaru bank UBS, perdagangan elektronik kategori business-to-consumer (B to C) di Asia Tenggara akan meningkat paling tidak lima kali lipat pada 2020 dengan omzet mencapai US$ 35 miliar.

Laporan itu mengungkapkan pertumbuhan yang kuat juga terjadi di Thailand dan Filipina, namun Indonesia akan menjadi pasar paling menjanjikan walaupun pertumbuhan penjualan berbasis internet saat ini masih rendah dan penetrasi internet masih lambat.

Optimisme ini didasarkan pada pertambahan pengguna internet yang cepat. Menurut perkiraan lembaga konsultan Redwing, sebagaimana dikutip oleh asiaone.com yang melansir tulisan ini Senin (3/12), akhir tahun depan penduduk Nusantara yang menggunakan internet akan mencapai 125 juta orang. Ini melompat jauh dari 55 juta orang saat sekarang. Pertambahan ini terutama disebabkan oleh peningkatan kelas menengah yang semakin makmur.

Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini, dinilai mirip dengan yang dialami Tiongkok beberapa tahun lalu. Pertumbuhan yang cepat dalam akses internet menggeser secara fundamental kebiasaan berbelanja kaum kelas menengah.

"Terdapat peluang yang luar biasa besar,” kata Ketua Indonesian E-commerce Association (idEA), Daniel Tumiwa, dalam sebuah konferensi di Jakarta. "Kelas menengah merupakan kekuatan pendorong yang paling utama,” lanjut dia.

Ia menambahkan, pertumbuhan e-commerce yang pesat di Asia Tenggara dipicu oleh ketersediaan ponsel pintar murah. Banyak di antara pemakainya mengenal internet pertama kali justru lewat ponsel yang sudah diinstal dengan aplikasi medsos dan situs belanja online yang populer.

Dalam dua tahun terakhir cukup banyak bermunculan toko belanja online, yang menjual beraneka kategori produk, mulai dari fesyen hingga elektronik. Menurut Tumiwa, pelanggan telah mengesampingkan kekhawatiran tentang kemungkinan tertipu demi menikmati kenyamanan belanja online.

Saat ini, bintang terbaru di bisnis belanja online di Tanah Air adalah Tokopedia. Ini adalah situs yang menyediakan tempat bagi pengguna untuk membuka toko online masing-masing dan menangani transaksinya.

Oktober lalu perusahaan ini mendapatkan kucuran dana investasi US$100 juta dari Soft Bank Jepang dan Sequoia Capital dari AS. Bagi Sequoia, kucuran dana ini tercatat sebagai investasi terbesar pertama di Indonesia untuk sebuah perusahaan belanja online pemula. Sequoia sendiri adalah perusahaan modal ventura yang merupakan pendukung awal kisah sukses nama-nama besar seperti WhatsApp dan Apple.

Beberapa situs lain yang telah lebih dulu populer adalah Kaskus dan OLX.

Di Indonesia dewasa ini juga sudah beroperasi Lazada, yang bercita-cita menjadi menjadi Amazon-nya Asia. Lazada didirikan pada 2012 dan beroperasi di enam negara Asia Tenggara masing-masing Lazada Malaysia, Lazada Vietnam, Lazada Filipina, Lazada Thailand selain Lazada Indonesia. Lazada Asia Tenggara merupakan anak usaha dari Rocket Internet yang berkantor pusat di Jerman. Pekan lalu Lazada membukukan kucuran dana sebesar US$250 juta dari Temasek, BUMN Singapura yang bergerak di bidang telekomunikasi.

Kendati optimisme merebak dengan kuat, harus diakui bahwa ASEAN yang beranggotakan 10 negara dengan penduduk 600 juta jiwa, masih harus menempuh jalan panjang.

Perdagangan elektronik (e-commerce) dewasa ini hanya sekitar 0,2 persen dari penjualan ritel di kawasan. Bandingkan dengan di Tiongkok yang sudah mencapai 8,0 persen dan di AS 8,7 persen.

Keputusan pemerintah yang melarang orang asing berinvestasi di e-commerce juga merupakan hambatan.

Meskipun demikian, Kuo-Yi Lim, dari perusahaan modal ventura Monk's Hill Ventures mengatakan, Pemerintah Tiongkok pun menerapkan pendekatan semacam itu. Namun, ia menilai, masyarakat akan mencari cara untuk dapat mengatasinya.

“Masyarakat akan mencari cara bekerja dengan (larangan) itu, atau bekerja di sekitar (larangan) itu,” kata dia.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home