Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 20:54 WIB | Selasa, 05 Agustus 2014

Inilah Gambaran Kehidupan di Irak Utara di Bawah "Negara Islam"

Militan "Menaga Islam" menghukum warga Mosul dengan cambuk. (Foto: iraqinews.com)

BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM  - Mobil-mobil polisi di Mosul dan kawasan lain Irak bagian utara telah dicat dengan tulisan baru “Polisi Islam.”  Mereka mengatakan bahwa perempuan dilarang mengenakan pakaian dengan warna-warna cerah. Kemudian mereka memberi tanda pada rumah milik penganut Syi'ah dan agama lain dengan tanda yang menyatakan bangunan itu milik Negara Islam.

Sebagian besar orang  di wilayah itu menjalani kehidupan dalam ketakutan di tengah teror oleh pemerintahan baru.

Itulah gambaran kehidupan sekarang di Mosul, Tikrit dan kota-kota lain di Irak bagian utara dan barat, setelah di bawah kendali kelompok ekstremis Islam. Mereka menguasai wilayah itu dalam serangan militer yang dilakukan pada bulan Juni lalu.

Wartawan Anmar Al Shamary dan Gilgamesh Nabeel menuliskan demikian pada Surat Kabar USA Today, dan dikutip oleh situs religionnews.com, hari Senin (4/8).  Keduanya menuliskan situasi berikut ini.

Normal baru bagi warga di wilayah itu berarti keputusan tentang cara berpakaian sehari-hari, dan ekstremis melakukan razia untuk membasmi penganut agama minoritas dalam kampanye untuk memaksakan hukum Islam yang ketat di kota-kota yang selama berabad-abad hidup dalam toleransi di antara sejumlah penganut agama.

Hukuman Menyebut Nama Lama

Warga menderita dengan perubahan baru yang radikal, dan beberapa mulai memberontak terhadap sikap militan ketika mereka mencoba untuk "membersihkan" daerah itu; apa pun, dan siapa pun yang mereka anggap non Islam. Seperti yang dihadapi banyak warga Kristen di Mosul, dan pilihan mereka hanya melarikan diri.

"Saya terkejut ketika saya mendengar keputusan baru yang memaksa saya untuk memakai jilbab dan benar-benar menutup wajah saya," kata Mais Mohamad, 25 tahun, seorang apoteker di Mosul, kota terbesar kedua di Irak. "Saya tidak bisa melakukan itu, saya selalu bebas untuk memakai apa yang saya suka. Saya tidak bisa menjalani sisa hidup saya dengan wajah saya ditutupi,” kata dia.

Para militan itu adalah sebuah sempalan dari kelompok Al-Qaeda, yang begitu radikal. Mereka sebenarnya ditolak bahkan oleh Al-Qaeda sendiri. Awalnya mereka terkonsentrasi pada penyediaan layanan seperti sanitasi dan memulihkan ketertiban. Namun kelompok yang bersikeras disebut sebagai Negara Islam itu mengeluarkan Surat Keputusan agama, segera setelah mengambil alih kota, tapi mereka sendiri tidak menegakkannya, kata penduduk.

Selama beberapa pekan terakhir, kelompok ini telah mulai menindak dalam upaya untuk memenuhi ambisinya untuk menciptakan wilayah berdasarkan hukum Islam di wilayah Irak dan tetangganya, Suriah.

"Negara Islam Irak dan Levant  (ISIL) adalah nama asli kelompok itu, namun mereka memutuskan bahwa siapa saja yang mengucapkan  nama (awal) mereka itu akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak  70 kali,” kata Ghaida'a Al-Rasool, seorang dokter di Mosul. "Nama baru mereka adalah Negara Islam."

Sebelum menamakan diri Negara Islam dan menyatakan kekalifahan, kelompok ini disebut juga sebagai Negara Islam Irak dan Syam (Suriah) dan biasa disingkat sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syam).

Paksa Pindah Agama

Kelompok ini telah membentuk pengadilan Islam yang dikendalikan oleh mufti (imam) atau tokoh agama. Para militan secara teratur berpatroli di jalan-jalan dengan truk dan pengeras suara yang digunakan untuk menginformasikan warga tentang perubahan itu.

"Mereka telah mengatakan kepada para pedagang pakaian untuk menjual apa yang mereka miliki dalam waktu 20 hari, (setelah itu) mereka hanya diperbolehkan menjual  jubba saja,” kata Saad Al-Hayali, seorang insinyur di Mosul. Dia mengacu tentang pakaian jubah sepotong yang biasa dikenakan oleh umat Islam di seluruh Timur Tengah. "Mereka juga telah melarang (adanya) ruang ganti di dalam toko.”

Lebih mengkhawatirkan bagi warga adalah langkah Negara Islam untuk membersihkan wilayahnya dari penduduk penganut agama lain. Warga Kristen dan minoritas lainnya diberi ultimatum: pindah agama menjadi pemeluk Islam atau menghadapi eksekusi.

"Saya meninggalkan  rumah saya ketika kami menerima ancaman ini," kata Abir Gerges, 45 tahun, seorang guru Kristen yang melarikan diri ke Irbil, sebuah kota di Kurdistan, wilayah semiotonom Irak dilindungi oleh kekuatan militer mereka sendiri.

"Saya mengatakan kepada suami saya, ‘Kita harus pergi," kata Gerges, seorang ibu dari tiga anak laki-laki. "Dia ragu-ragu, dan mengatakan, 'Bagaimana saya bisa meninggalkan rumah yang saya warisi dari orang tua saya?’ Tapi aku mengatakan kepadanya bahwa mereka mungkin membunuh kita dan membunuh anak-anak kita di depan kita. Apa yang akan kita lakukan dengan rumah jika itu terjadi? Jadi dia memutuskan untuk mendengarkan saya, dan kami mengambil uang kami dan perhiasan saya dan hanya tas pakaian yang bisa dibawa."

Milik Negara Islam

Gerges dan keluarganya cepat melihat apa yang akan terjadi dengan aturan para militan, dan itu juga mereka alami ketika mereka tiba di sebuah pos pemeriksaan jauh di luar kota Mosul.

"Saya memakai jilbab, berusaha menyembunyikan diri, tetapi mereka bertanya apakah kami  Kristen," katanya. "Kami  takut untuk berbohong kepada mereka, jadi kami mengatakan ya. Salah satu dari mereka, dia bertopeng, maju ke arah saya dan berkata, 'Anda harus melepas semua perhiasan yang Anda kenakan. Sekarang ini menjadi milik Negara Islam. "Mereka juga merampas semua uang suami saya. Setelah itu, mereka berkata, ‘Sekarang Anda bisa pergi. Itu hukuman karena penolakan Anda untuk menjadi Muslim.”

Para penguasa baru yang menyebut diri Negara Islam itu juga merusak peninggalan gereja dan biara-biara kuno di wilayah itu.

"Gereja-gereja ditutup," kata Al-Rasool, seorang dokter dari Mosul. "Kemarin, saya melihat (hal itu terjadi pada) sebuah gereja tua bersejarah di jalan distrik Ras al-Kur. Pintu gereja ditutup dengan dinding semen dan batu bata."

Karyawan Balai Kota diperkirakan akan terus datang untuk bekerja, tetapi toleransi terhadap umat Islam non Sunni sangatlah langka, lapor wartawan itu.

"Mereka telah mengurangi setelah dari gaji mereka, dan mereka telah mengatakan kepada pegawai pemerintah yang Kristen, Syiah dan Shabak (kelompok minoritas lain), 'Anda  dipecat," kata Al-Rasool.

Sembunyi

Beberapa orang Kristen dan minoritas Muslim lainnya di wilayah itu, dilaporkan hidup secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan.

"Saya masih di Mosul, dan saya tahu pasti saya akan mati jika mereka tahu saya di sini," kata Hassan Ali, 55 tahun, seorang Turkmen penganut Syiah dan ayah dari tiga anak perempuan. "Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak mampu untuk pindah ke tempat lain. Saya lebih suka mati di sini daripada mati di kamp-kamp pengungsi dengan tidak ada layanan dan tidak ada makanan."

Para pekerja dari penganut Sunni tetap dibiarkan bekerja dengan gaji rendah untuk memulihkan layanan kota dan memperbaiki jalur listrik dan fasilitas pengolahan air yang sangat rusak akibat dibombardir oleh pasukan pemerintah yang mundur. Di bawah Negara Islam, listrik dijatah, pompa air telah kering, harga gas naik dan kekurangan persediaan, termasuk kebutuhan sehari-hari yang umum.

Kesulitan hidup muncul dalam kehidupan sehari-hari, dan sangat sulit bagi perempuan dan anak-anak. Meskipun perempuan tidak dilarang berjalan sendirian di luar, suasana telah mendorong banyak dari mereka memilih tetap di dalam rumah, menjaga anak-anak mereka, karena sekolah telah ditutup.

"Mereka ingin semua perempuan menutupi tubuh mereka dengan selubung dan tidak pergi ke luar tanpa (ditemani) seorang laki-laki," kata Omer Othman, 37 tahun, penjaga toko. "Ini adalah bencana bagi perempuan. Mereka memanfaatkan waktu untuk mengerjakan setengah dari tugas sehari-hari keluarga. "

Merusak Rumah Ibadah

Negara Islam pada hari Minggu (3/8) merebut dua kota  kecil lainnya  di Irak utara, Zumar dan Sinjar, yang selama ini dihuni oleh warga dengan berbagai agama yang dianut. Serangan itu memaksa ribuan warga mengungsi, kata laporan PBB.

Tapi ekstrimis telah melakukan hal yang terlalu jauh ketika mereka mulai meledakkan makam yang dihormati warga dan masjid yang tidak sesuai dengan pandangan agama mereka, seperti situs pemakaman Nabi Yunus.

"Ini mencabut nurani warga Mosul," kata Al-Rasool, seorang dokter, mengacu pada makam Yunus. "Semua orang dari semua agama dan kelompok etnis menghormati situs ini. Dia penjaga dan jantung warga kota."

Perlawanan

warga Mosul tampaknya tidak diam dengan situasi ini. Atheel Al-Nujaifi, Gubernur Mosul, mengumumkan pekan lalu bahwa pemberontakan melawan militan akan segera dimulai.

Negara Islam "berperilaku sangat baik di awal pengambilalihan Mosul, tapi mereka mulai mengungkap wajah buruk mereka. Mereka meledakkan kuburan tiga nabi, dan membuka mata saya," kata Othman, pemilik sebuah toko. "Saya pikir orang tidak akan berdiri diam melihat ketidakadilan ini, dan mereka mungkin bangkit melawan mereka segera.”


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home