Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 13:53 WIB | Sabtu, 04 Juni 2016

Intelektual Muda Luncurkan Buku Tolak Hukuman Mati

Para Intelektual Muda pada hari Jumat (3/6) di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat meluncurkan buku dengan judul "Menolak Hukuman Mati Perspektif Intelektual Muda". (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Para Intelektual Muda pada hari Jumat (3/6) di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat meluncurkan buku dengan judul "Menolak Hukuman Mati Perspektif Intelektual Muda".

Buku setebal 221 lembar itu mengupas soal penolakan hukuman mati seperti ditulis oleh Dosen Filsafat Hukum Universitas Indonesia Antonius Cahyadi.

“Apa yang diingikan oleh penguasa dari penerapan hukuman mati? Hukuman tidak pernah mengizinkan hukuman mati. Hukuman mati adalah mekanisme penghukuman yang lebih bersifat politis dibandingkan hukuman itu sendiri,” kata Antonius di YLBHI, Jalan Diponegoro nomor 74, Jakarta Pusat, hari Jumat (3/6).

Menurut Antonius hukuman mati bila dinyatakan "sah menurut hukum" telah menjadi mekanisme pengorbanan manusia. Unsur politis lebih kental terasa saat pemerintah memutuskan menghukum mati terpidana. Mereka mengorbankan manusia untuk kekuasaan. Dengan kata lain, kepentingan hukum tak lagi jadi prioritas pemerintah.

Sementara itu, Koordinator bantuan hukum YLBH Julius Ibrani mengatakan, kekhasan penerapan hukuman mati dan eksekusinya bernuasa politis di setiap rezim.Kekhasan ini bisa dilihat jelas dengan indikator, antara lain, tren kejahatan, ada atau tidaknya mekanisme peradilan, rentang waktu vonis dan eksekusi dan momentum eksekusi.

"Tren kejahatan yang dijatuhkan hukuman mati dan dieksekusi pada rezim Orde Lama dan Orde Baru memiliki kesamaan, keduanya didominasi oleh kejahatan politik," kata dia.

Contohnya, pada masa Orde Lama, terkait pemberontakan atau mencoba pembunuhan terhadap Soekarno, sedangkan Orde Baru terkait peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) dan kejahatan subversif.

“Pasca reformasi tahun 1998 tren kejahatan bergeser, didominasi kejahatan narkotika dan pembunuhan, diikuti hegemoni yang efektif untuk pencitraan kekuasaan berupa dalih keadilan bagi korban atau menyelamatkan masa depan,” kata dia.

Meskipun ada perbedaan data, kata Julius yang signifikan antara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Kementerian Hukum dan HAM pada rezim Orde Baru dan Orde Lama, baik dari segi jumlah maupun tahun.

Namun, kata Julius yang menarik adalah kesamaan angka tertinggi dari eksekusi terpidana mati berdasarkan tren kejahatan, yakni kejahatan politik. Kejahatan politik yang dimaksud terkait dengan gerakan revolusi tahun 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home