Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 08:25 WIB | Jumat, 16 Oktober 2015

Intoleransi Singkil, Ungkapan Keprihatinan Masih Berdatangan

Umat Kristen korban intoleransi Aceh Singkil, mengungsi di Paroki st. Mikhael Tumbajae, Tapanuli Tengah. (Foto: mirifica.net/Pst Ign Purwo OSC)

SATUHARAPAN.COM – Ungkapan keprihatinan masih berdatangan menanggapi kasus pembakaran gereja di Kabupaten Aceh Singkil. Sidang Sinode XXVII Gereja-gereja Kristen Jawa, Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di antaranya. Berikut siaran pers lengkap yang mereka kirimkan kepada satuharapan.com.

Umat mengungsi di tenda-tenda yang ada di Paroki st. Mikhael Tumbajae.

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi

Kepada

Yth. Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo

Dengan hormat,

Mencermati peristiwa kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, NAD, yang telah menimbulkan korban jiwa, kerusakan tempat ibadah dan pengungsian warga ke luar daerah; Kami peserta Sidang Sinode XXVII Gereja-gereja Kristen Jawa yang sedang berlangsung di Salatiga 14 - 15 Oktober 2015 dengan ini menyatakan keprihatinan, menyesalkan tindakan kekerasan, anarki, dan intimidasi yang masih terjadi di wilayah NKRI tercinta. Bahkan kami mencatat peristiwa semacam ini sudah berulang kali terjadi.

Oleh karena itu, kami memohon kepada Bapak Presiden RI agar:

1. Menggerakkan seluruh aparat hadir untuk memberikan perlindungan dan rasa aman atas kehidupan termasuk kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah serta kepercayaan.

2. Memerintahkan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap setiap bentuk intimidasi dan kekerasan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945

3. Memberikan perhatian khusus kepada warga masyarakat yang terpaksa mengungsi karena merasa terancam keselamatannya dan memfasilitasi mereka untuk kembali ke rumahnya dengan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan jiwa maupun harta bendanya.

4. Memastikan bahwa pengurusan izin pendirian tempat ibadah dilayani dan tidak dipersulit.

5. Memastikan bahwa peristiwa ini tidak dipolitisasi, khususnya dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah yang akan segera berlangsung di sebagian besar wilayah Republik Indonesia

6. Memastikan bahwa peristiwa ini dapat segera dihentikan, diselesaikan secara adil dan tidak akan terulang lagi di seluruh wilayah NKRI kami sangat berharap permohonan kami akan mendapat perhatian Bapak sebagai bukti pelaksanaan Nawacita.

Salatiga, 15 Oktober 2015

Pimpinan persidangan sinode XXVII

Pdt. Yahya Tirta Prewita, Ketua;  Pdt. Sundoyo , Sekretaris

Beberapa Pastor dan suster hadir di tengah para pengungsi untuk memberikan peneguhan dan bantuan makanan.

Pernyataan Sikap Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Masa Bakti 2014-2016

Menyikapi Pembakaran Gereja di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.

1. Menyayangkan terjadinya kembali tindakan-tindakan intoleransi di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Nangroe Aceh Darussalam menjelang Tahun Baru Islam 1 Muharram 1437 H.  Setelah sebelumnya pada terjadi peristiwa memilukan di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015 di samping berbagai tindakan intoleransi yang terjadi juga selama tahun 2015 di seluruh Indonesia seperti; pelarangan ibadah di GPI Tanjung Senang, Bandar Lampung pada Minggu, 12 Juli 2015, pelarangan ibadah yang menyebabkan pendeta beserta keluarga terpaksa diungsikan di GBI Saman Bantul, Yogyakarta pada 14 Juli 2015, serta perobohan gereja HKI Bukit Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur pada hari yang sama. Kami meminta masyarakat tidak terprovokasi sehingga tidak menimbulkan berbagai tindakan intoleransi lanjutan. Kami meminta seluruh bentuk-bentuk tindakan intoleransi di Indonesia diusut tuntas tanpa terkecuali. Meminta kehadiran negara di dalam setiap persoalan tindakan intoleransi.

2. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) akan menurunkan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menelusuri penyebab peristiwa pembakaran gereja terjadi. Termasuk kepastian mengenai data mengenai korban luka-luka dan melayang jiwa yang ditimbulkan oleh bentrok tersebut. Termasuk meminta agar seluruh pihak yang melakukan tindak melanggar hukum dapat diproses segera mungkin.

3. Meminta agar Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso, Kapolda Aceh,  Irjen Pol Husein Hamidi, dan Kapolres AKBP Budi Samekto untuk dicopot dari jabatan karena jelas-jelas tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga peristiwa bentrokan warga dan pembakaran gereja terjadi. Kealpaan aparat keamanan ini menunjukkan bahwa negara benar-benar absen di dalam melakukan pengamanan masyarakat. Seharusnya BIN mampu mengantisipasi ancaman bentrok mengingat peristiwa ini tidak muncul tiba-tiba.  Aksi protes terkait keberadaan gereja di Aceh Singkil sudah mulai mencuat sejak 6 Oktober 2015.

4. Meminta agar media cetak, televisi, dan online dapat menghadirkan berita yang bersumber dari pemberitaan yang jelas (sumber dan pernyataan yang tepat). Sehingga tidak turut memperkeruh suasana yang terjadi saat ini. Apalagi belajar dari pengalaman tragedi intoleransi sebelumnya media turut menjadikan tindakan intoleransi di daerah lainnya. Tetap mengedepankan jurnalisme damai agar masyarakat Indonesia tidak terprovokasi.

5. Meminta agar Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo segera mengevaluasi kerja Bupati Aceh Singkil, Safriadi dan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam mengelola keberagaman yang ada di Aceh. Pasalnya perjanjian damai yang dibuat tahun 1979 yang dikuatkan lagi di musyawarah antarwarga pada 2001 tentang pembatasan rumah ibadat umat Kristen maksimal hanya boleh berdiri  satu gereja dan empat undung-undung (rumah ibadah kecil). Provinsi Aceh juga memiliki Peraturan Gubernur nomor 25 tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah yang lebih diskriminatif dari Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian Rumah Ibadah. Peraturan seperti itu sudah selayaknya dihapuskan dari Indonesia yang beragam ini.

6. Tidak henti kami meminta kepada pemerintah pusat untuk segera mencabut akar persoalan dari seluruh bentuk intoleransi yang dalam beberapa tahun terakhir terus terjadi di Indonesia yakni Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah dan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Eksistensi Ahmadiyah segera dihapuskan. Pasalnya keberadaan dari putusan tersebut menjadi dasar hukum untuk sejumlah oknum melakukan tindakan-tindakan intoleransi di berbagai tempat.

 

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Ut Omnes Unum Sint. MERDEKA..!!!

Jakarta, 13 Oktober 2015

Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) masa bakti 2014-2016

Ketua Umum, Ayub Manuel Pongrekun; Sekretaris Umum, Adolfin Deslina Datang

Anak-anak tidak dapat menikmati masa sekolah dengan aman.

Ikatan Sarjana Katolik Indonesia: Dunia “Melihat” Aceh Kembali

Jakarta, Rabu (14/10) Dunia “melihat” ke Aceh kembali dengan munculnya tindakan intoleransi penyerangan gereja-gereja di Kabupaten Singkil, Aceh. Peristiwa ini mencuatkan keprihatinan yang amat mendalam dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pasca tsunami 2014, Aceh dibangun dalam semangat toleransi, pluralisme dan kemanusiaan.

Oleh karenanya, Aceh bukan milik masyarakat Aceh saja, tetapi Aceh milik Indonesia dan juga dunia. Sehingga kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Singkil mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh dalam masyarakat.

Demikian ditegaskan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) melalui rilisnya kepada media terkait dengan kasus Singkil, Aceh, pada Rabu (14/10).  Dalam rilis yang dikirimkan kepada media, Ketua Umum Presidium ISKA, Muliawan Margadana dan Sekjen ISKA, Joanes Joko secara lengkap menyatakan sebagai berikut:

1.      Seperti yang telah ketahui bersama pada hari  Selasa, 13 Oktober 2015, telah terjadi penyerangan oleh massa Intoleransi ke gereja-gereja di Kabupaten Singkil, Aceh. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya korban meninggal dan luka sesama anak bangsa serta pengungsian masyarakat akibat situasi keamanan yang tidak menentu. Berkaitan dengan kejadian ini, maka Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia menyatakan keprihatinannya.

2.      Kita semua percaya bahwa hak beragama, berkeyakinan dan mengaktualisasikan keimanan dalam beribadat adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.      Masyarakat Aceh pasca Tsunami 2004 adalah masyarakat cinta damai yang telah dibangun kembali dengan semangat toleransi, pluralism dan solidaritas yang menghargai dan menjunjung tinggi Kemanusiaan. Semangat Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh saja tetapi juga milik masyarakat Indonesia dan dunia.  Maka kekerasan atas nama agama telah mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh di Bumi Rencong.

4.      Penyerangan terhadap rumah ibadat sejatinya merupakan penyerangan terhadap logika dan keyakinan kemanusiaan yang menyadari kelemahannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang Maha Esa. Karena pada kenyataannya di rumah-rumah ibadat itulah –apa pun agamanya- Allah Yang Maha Esa ditinggikan dalam berbagai cara dan keyakinan iman.

5.      Meminta pemerintah dan seluruh jajarannya, khususnya Pemerintah Kab. Aceh Singkil dan Prov. Aceh untuk hadir bertindak tegas, cepat dan tepat, karena jelas peristiwa yang terjadi ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945. Dan mengantisipasinya kemungkinan yang bisa  mengakibatkan peristiwa Singkil berubah konflik yang lebih luas.

6.      Kami meyakini bahwa Pancasila sebagai Roh dan inspirasi dalam kita hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. Untuk itu kami mengajak seluruh elemen anak bangsa dan jaringan lintas iman yang masih percaya akan Pancasila untuk terus menumbuhkan dan membangun solidaritas tanpa sekat.

7.      Menginstruksikan pada seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ISKA di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi akibat dari peristiwa ini dengan membangun komunikasi dan kerja sama  bersama unsur masyarakat, khususnya yang menghargai toleransi dan keberagaman.

Demikian keprihatinan ini kami sampaikan agar kita bisa mengambil pelajaran bersama agar peristiwa ini tidak terulang pada masa yang akan datang di seluruh wilayah Indonesia yang masih menjunjung tinggi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) St. Albertus Magnus

 

Jakarta, 14 Oktober 2015

Muliawan Margadana– Ketua Presidium

Para pengungsi dari Aceh Singkil yang berada di sebuah Gereja di Tapanuli (Foto: Antara/Twitter @Ferry Maitimu)

Pernyataan Sikap Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) di Indonesia Terkait Serangan Brutal Terhadap Rumah Ibadah di Singkil, NAD

Tragedi kemanusiaan kembali mengoyak Kebinekaan Indonesia. Sekelompok orang yang tergabung dalam Pemuda Peduli Islam (PPI) menyerang dan membakar dua rumah ibadah milik Gereja Huria Kristen Indonesia di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah dan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Danggurun, Kecamatan Simpang Kanan. Dua gereja tersebut berada di Kabupaten Singkil, Nangroe Aceh Darussalam. Latar belakang penyerangan ini karena dua gereja tersebut tidak memiliki izin. Kejadian ini tidak hanya menghancurkan rumah ibadah tetapi juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka. Saat ini, bencana kemanusiaan telah terjadi, ribuan warga pun terpaksa mengungsi ke luar daerah seperti ke Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pakpak Barat, Sumatera Utara.

Tragedi kemanusiaan ini tidak terjadi tiba-tiba, tetapi by design. Dengan alasan tidak memiliki izin, unsur pimpinan daerah Kabupaten Singkil yang terdiri dari Bupati, ulama, dan sejumlah ormas sepakat untuk membongkar sejumlah gereja yang akan dimulai pada 19 Oktober 2015 mendatang. Sedangkan rumah ibadah yang tidak dibongkar diberikan waktu selama enam bulan untuk mengurus izin sesuai dengan peraturan. Akan tetapi, sebelum deadline yang telah ditentukan telah terjadi penyerangan dan pembakaran terhadap Gereja HKI dan GKPPD oleh massa yang tergabung dalam Pemuda Peduli Islam pada Selasa, 13 Oktober 2015.

Sungguh sangat disesalkan pemerintah daerah justru memfasilitasi kelompok intoleran untuk merencanakan penutupan gereja. Di sisi lain, kebijakan pemerintah daerah Singkil juga tidak terlepas dari adanya kebijakan SKB 2 Menteri dan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007. Kedua peraturan ini sangat jelas bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia karena mensyaratkan adanya dukungan warga sekitar untuk mendirikan rumah ibadah. Ketentuan ini tentunya sangat bisa dipolitisasi di lapangan sehingga usaha untuk mendapatkan legalitas membangun rumah ibadah menjadi sulit.

Kami juga menyesalkan langkah pemerintah dalam merespons kasus Singkil tidak secepat dan setegas kasus Tolikara beberapa waktu yang lalu. Padahal kedua kasus ini memiliki dimensi kerugian yang hampir sama. Oleh karena itu, Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia dengan ini menyatakan:

1.            Mengecam keras penyerangan dan pembakaran rumah ibadah di Singkil. Tindakan ini tidak hanya menyakiti perasaan jemaat, tapi juga mengoyak Kebinekaan Indonesia yang masih kita rajut hingga detik ini.

2.            Meminta pemerintah untuk segera menindak tegas aktor utama dan pelaku penyerangan dua rumah ibadah di Singkil.

3.            Meminta pemerintah untuk mengevaluasi unsur pimpinan daerah di Singkil yang telah gagal memberikan rasa aman dan nyaman kepada warganya untuk menjalankan ibadah.

4.            Meminta pemerintah untuk segera memulihkan situasi keamanan dan kenyamanan di Singkil, terutama bagi jemaat gereja lain yang berada di Singkil.

5.            Meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memfasilitasi jemaat dan warga yang mengungsi untuk segera kembali ke daerah asalnya dengan jaminan keamanan.

6.            Meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi SKB 2 Menteri dan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 yang terang benderang bertentangan dengan konstitusi.

7.            Menyesalkan adanya pertemuan pada tanggal 12 Oktober 2015 yang difasilitasi oleh Pemda Singkil dan juga pengabaian laporan para pendeta kepada aparat Kepolisian karena merasa terancam dengan beredarnya sms ancaman pada seminggu sebelum terjadi penyerangan.

8.            Meminta pemerintah pusat dan daerah untuk serius mencegah dan mengatasi setiap gerakan intoleran di berbagai daerah agar kejadian Singkil menjadi terakhir kalinya di bumi Indonesia.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk menjadi perhatian bagi semua pihak.

 

Jakarta, 15 Oktober 2015

Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia

Tertanda

Suryati Simanjuntak (Ketua POKJA);  Woro Wahyuningtyas  (Direktur Eksekutif);  Irma Simanjuntak (Sekretaris POKJA)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home