Loading...
OPINI
Penulis: Victor Silaen 00:00 WIB | Kamis, 13 Agustus 2015

Islah Politik

SATUHARAPAN.COM – Dapatkah diprediksi bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang memenangkan Partai Golkar kubu Agung dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy (Romi) akan membuat kedua partai tua ini islah dalam waktu dekat ini? Terus-terang saya meragukannya.

Islah, berasal dari bahasa Arab, mengandung dua makna: manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan. Jadi, ketika ada pertikaian atau perselisihan, di sanalah islah ditawarkan. Ada perjanjian dan kesepakatan untuk mencapai perdamaian dan persatuan kembali. Untuk itu niscaya terjadi proses, yang disebut mediasi.

Sulitkah prosesnya berjalan hingga akhir? Tidak juga, karena umumnya orang berniat baik dan bernalar sehat. Umumnya orang akan berpikir seperti ini: sampai kapan kita akan terus-menerus bermusuhan? Adakah permusuhan yang berkepanjangan ini bermanfaat bagi kita? Bukankah kita mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Apalagi dalam Islam diajarkan, seseorang tak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Kristen pun mengajar hal yang hampir sama: jangan simpan amarahmu hingga matahari terbenam. 

Tidakkah atas dasar itu kita niscaya terdorong untuk saling bermaafan dan akhirnya berdamai? Bagi kita pada umumnya, meminta maaf itu tidaklah sulit. Itu sebabnya kita sering berkata “maaf” dalam konteks-konteks sosial yang sebenarnya tak perlu meminta maaf. Bahkan untuk sebagian orang bisa saja kebiasaan meminta maaf itu telah menjadi basa-basi pergaulan. Tapi memang, sesungguhnya kita memiliki niat baik dan bernalar sehat. Kita tak suka bermusuhan. Jadi, kalau ada masalah dengan pihak lain, lebih baik saling bermaafan agar persoalan selesai dan hubungan kembali harmonis.

Namun, bagaimana islah dalam lingkup yang lebih luas dan yang bersifat politik? Kerap disebut rekonsiliasi, intinya sama saja sebenarnya. Namun, rekonsiliasi lebih bersifat kolektif atau melibatkan kelompok-kelompok, bukan individu-individu.  Sulitlah prosesnya berjalan sampai akhir, hingga tercapainya perdamaian dan persatuan kembali? Dibilang gampang, nyatanya tidak juga. Karena di sini harus ada pengungkapan kebenaran secara tuntas, baru kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan berdamai dan menjalin relasi baik yang berorientasi ke depan. Di dalam kesepakatan itu bisa saja ada perjanjian ini dan itu yang harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jadi, ini memang lebih formal sifatnya dan peran mediator yang dipercaya oleh kedua belah pihak sangatlah penting.

Namun, mengamati dinamika politik di tanah air akhir-akhir ini, mengapa ada sedikitnya  dua partai politik yang telah berkonflik cukup panjang dan tak kunjung berdamai hingga kini? Sebutlah Partai Golkar yang terbelah menjadi dua kubu, ARB (Aburizal Bakrie) dan Agung Laksono, juga PPP yang terpecah dua pihak, Djan Faridz (Djan) dan Romi?

Telah berbulan-bulan mereka bertikai, bahkan sampai terjadi saling rebutan markas partai. Telah berkali-kali pula mereka menggelar pertemuan bersama, yang memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk saling berangkulan dan bermaafan. Namun, mengapa rekonsiliasi yang sejati itu tak juga tercapai?

Jumat siang, 22 Mei lalu, dimediasi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, kubu ARB dan kubu Agung bertemu dan melakukan islah parsial. Apa maksudnya ini? Ternyata, islah tersebut bersifat non-permanen: hanya untuk kepentingan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akhir tahun ini. Dengan kata lain, setelah pilkada usai, konflik terbuka untuk dilanjutkan kembali. Karena, persoalan mendasar di internal partai belum diselesaikan. Menurut salah seorang pengurus Golkar, kubu ARB lupa bila persoalan mendasar di Partai Golkar adalah Ical (sapaan ARB) dan kroni-kroninya, baik perilaku, tindakan-tindakan dan langkah-langkah politiknya yang selama ini telah memporak-porandakan partai berlambang pohon beringin tersebut. Kubu Ical tidak mengindahkan Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang telah membuat keputusan bersifat rekonsiliatif. Karena dalam diktumnya mengamanatkan untuk mengakomodir kepengurusan hasil Munas Bali dengan kriteria Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT). Selain itu, MPG juga memerintahkan untuk memulihkan hak-hak para kader yang telah dipecat oleh Ical.

Bagi partai politik, ajang pilkada nemang sangat penting. Itu sumber amunisi agar dapat terus bergerak lincah ke depan. Boleh dibantah, tapi begitulah realitasnya. Sebab partai tak lagi bergantung pada sumber iuran anggota. Maka, sumber penghidupan partai adalah surat rekomendasi bagi calon pemimpin yang ingin maju dan dukungan para cukong demi tetap berdenyutnya urat nadi.
Bagaimana dengan PPP? Ketiadaan tokoh menyebabkan islah antara dua kubu yang berpolemik di partai bernafaskan Islam ini menjadi sulit terwujud. Maka, sejak berbulan-bulan silam partai ini mengalami dualisme kepemimpinan antara Romi yang terpilih sebagai ketua umum versi Muktamar Surabaya dan Djan sebagai ketua umum versi Muktamar Jakarta. Romy ngotot karena merasa kubunyalah yang legitimate, berdasarkan  pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Kubu Djan setali tiga uang, itu sebabnya bersama dengan ketua umum sebelumnya, Suryadharma Ali (SDA), mereka menggugat Romy ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dan mereka menang, karena PTUN Jakarta dalam putusannya membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM. Atas putusan tersebut Menkum HAM dan kubu Romy mengajukan banding ke PTUN. Romy memperkirakan, keputusan final dan mengikat untuk penyelesaian kisruh internal partai mereka baru akan selesai sekitar 1-2 tahun lagi.

Lantas, bagaimana dengan ajang pilkada yang terpampang di depan mata? Akan ikutkah partai agama ini berpartisipasi? Kalau ikut, calon dari kubu mana yang akan diterima pendaftarannya di Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Apakah mereka juga akan meniru langkah pragmatis Golkar, berdamai untuk sementara saja?

Itulah politik dalam realitasnya. Banyak hal serba mungkin dicapai, yang bagi kita mungkin sangat mengherankan, seperti islah non-permanen itu. Namun, tak berarti segala-galanya menjadi mungkin dan dapat diwujudkan. Contohnya ya itu tadi: islah permanen, atau mungkin lebih baik menyebutnya islah sejati. Mengapa tak mungkin? Karena, ini lebih dari sekedar saling bermaafan. Yang terpenting, dan yang paling sulit dijawab adalah: siapa yang mendapatkan kekuasaan terbesar? Lebih gamblang lagi: siapa yang menjadi ketua umum? “Kalau saya, mari kita berdamai. Tapi kalau Anda, tunggu dulu.”

Begitulah, maka tak heran kalau sempat mencuat usulan dari kubu Agung agar islah non-permanen di tubuh Partai Golkar itu dibatalkan. Sebab, mereka menilai kubu ARB tidak memiliki keihklasan, terutama setelah peristiwa penyerangan ke Kantor DPP Partai Golkar, 8 Juni lalu. Kendati begitu herannya mereka tetap optimistik bahwa Golkar bisa ikut Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang. Sebab menurut mereka, KPU hanya bisa mengakui parpol yang memiliki SK Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara di PPP, kubu Romy tetap membuka pintu islah untuk kubu Djan. Bahkan Romy siap menawarkan jabatan apa saja terhadap PPP hasil Muktamar Jakarta, kecuali posisi ketua umum dan sekjen. “Sudah kami tawarkan (islah), serta jabatan apapun selain ketua umum dan sekjen,” demikian penjelasan Romy dalam siaran persnya, 1 Juni lalu.

Sekali lagi, persoalan utamanya bukanlah saling bermaafan, melainkan siapa mendapat kekuasaan terbesar.

 

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home