Loading...
OPINI
Penulis: Broto Wardoyo 06:28 WIB | Senin, 24 Februari 2014

Jalan Panjang Negosiasi Palestina-Israel

SATUHARAPAN.COM - Dalam beberapa bulan terakhir, Amerika Serikat berupaya keras untuk menghidupkan kembali negosiasi Palestina-Israel. Diawali dengan pertemuan di Washington, DC pada akhir Juli 2013 yang mempertemukan Tzipi Livni dan Saeb Erekat, Menteri Luar Negeri John Kerry telah berulang kali mengadakan pertemuan dengan pemimpin kedua negara. Namun, hingga saat ini, belum ada tanda-tanda munculnya formula baru bagi kesepakatan damai.

Saat ini, ada dua isu yang mendesak untuk ditangani dalam negosiasi Palestina-Israel, yaitu: pemukiman Yahudi dan status pengungsi Palestina. Ada dua alasan mengapa isu pemukiman Yahudi mendesak untuk segera ditangani. Pertama, jumlah pembangunan pemukiman Yahudi sepanjang periode kedua pemerintahan Netanyahu sangat tinggi. Peace Now mencatat bahwa tender pembangunan untuk tahun 2012 mencapai angka 3148 rumah, yang merupakan angka tertinggi sejak 1999.

Kedua, sebagian besar pembangunan tersebut dilakukan di wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Data dari lembaga yang sama menunjukkan bahwa hanya 32,3% pemukiman baru yang dibangun di area di dalam tembok pembatas. Sisanya, 29,3% dibangun di area di antara tembok pembatas dan rencana baru bagi tembok pembatas dan 38,4% dibangun di area di sebelah timur rencana tembok pembatas. Dua area terakhir merupakan wilayah di luar garis hijau yang merupakan milik Palestina.

Kehadiran pemukiman-pemukiman baru tersebut menciptakan tiga komplikasi bagi perundingan damai. Komplikasi pertama terkait dengan penyesuaian batas wilayah. Keberadaan pemukiman-pemukiman baru tersebut memaksakan dilakukannya penyesuaian batas wilayah kedua negara. Tanpa adanya penyesuaian batas, pemerintah Israel harus melakukan penarikan diri dari pemukiman-pemukiman baru yang sudah dibangun.

Penarikan diri tersebut akan menciptakan tekanan publik yang intens. Tekanan publik akan semakin kuat mengingat pemukiman-pemukiman baru tersebut diperuntukkan bagi para imigran, yang sebagian besar berasal dari Rusia dan negara-negara eks-Uni Sovyet lain, yang merupakan basis pendukung partai-partai sayap kanan Israel. Partai-partai ini merupakan pilar utama koalisi pemerintahan Netanyahu saat ini. Artinya, selain tekanan publik, pemerintah Netanyahu harus menghadapi ancaman perpecahan dalam koalisinya jika memaksakan relokasi pemukiman. Pada saat yang bersamaan, penyesuaian batas akan memberi tekanan pada Otoritas Palestina apalagi jika wilayah yang dipertukarkan kurang menguntungkan.

Komplikasi kedua terkait dengan pengaturan keamanan. Pembangunan pemukiman Yahudi hanya bisa dilaksanakan jika ada ijin resmi dari Kementerian Pertahanan. Lokasi-lokasi pemukiman Yahudi baru yang terletak di luar garis hijau membuat militer Israel memiliki kebutuhan untuk melakukan pengamanan hingga ke wilayah yang menjadi teritori Palestina. Hal ini membuka potensi terjadinya benturan dengan kelompok-kelompok perlawanan Palestina, terutama Brigade al-Aqsa, yang secara de facto menguasai blok-blok besar di wilayah Tepi Barat. Apalagi, kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki garis komando yang jelas dengan Otoritas Palestina.

Komplikasi ketiga terkait dengan status Yerusalem. Blok-blok baru pemukiman Yahudi sebagian besar dibangun di wilayah Yerusalem Timur, ibukota negara Palestina. Sebagian dari blok yang dibangun tersebut bukanlah perluasan normal dari blok lama di Yerusalem Timur namun dibangun terpisah dari blok-blok lama. Blok-blok baru tersebut akan menambah rumit pengaturan masalah Yerusalem yang sudah cukup kompleks dengan kehadiran situs-situs suci.

Status pengungsi Palestina

Isu kedua yang juga menjadi penting untuk dibicarakan saat ini adalah status pengungsi Palestina. Israel senantiasa menolak pembicaraan mengenai status pengungsi Palestina karena dua alasan. Pertama, pemberian status pengungsi akan memungkinkan para pengungsi tersebut untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Hal ini bukan saja akan memperkuat klaim Otoritas Palestina bagi penyerahan wilayah-wilayah di Tepi Barat, yang sebagian telah berubah menjadi blok pemukiman Yahudi, namun juga mengubah komposisi demografis.

Kedua, semakin besar jumlah pengungsi akan berdampak pada semakin besarnya biaya repatriasi para pengungsi tersebut. Kedua alasan tersebut membuat Israel tidak pernah bersedia mengakui korban perang yang melarikan diri secara sukarela akibat perang, baik tahun 1948 maupun 1967, sebagai pengungsi.

Masalah pengungsi menjadi semakin krusial untuk dibicarakan mengingat sebagian besar pengungsi Palestina bermukim di Libanon dan Suriah, selain tentunya Yordania, yang saat ini menjadi medan konflik internal. Para pengungsi Palestina menjadi kelompok yang mengalami deprivasi ganda, terpinggirkan karena perang melawan Israel dan kembali terpinggirkan karena konflik internal di negara-negara tempat mereka mengungsi.

Peran Amerika Serikat

Upaya Amerika Serikat untuk menengahi negosiasi Palestina-Israel membutuhkan ketegasan. Salah satunya adalah kemauan pemerintah Amerika Serikat untuk membekukan aliran dana yang menyokong pembangunan pemukiman Yahudi tersebut. Uni Eropa, pada bulan Juli 2013, mengeluarkan kebijakan untuk melarang transaksi apapun dengan institusi Israel yang melakukan aktivitas di luar batas 1967 untuk menekan pertumbuhan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Langkah semacam ini menjadi penting dalam rangka memberikan tekanan bagi penghentian pembangunan pemukiman Yahudi dan, jika perlu, menekan pemerintah Israel untuk melakukan relokasi pemukiman tersebut. Langkah serupa belum dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat.

Pemerintah Amerika Serikat berdalih bahwa langkah tersebut membatasi kebebasan aliran dana privat. Argumentasi ini tidak cukup kuat mengingat Amerika Serikat mampu menerapkan sanksi bagi transaksi keuangan dengan negara-negara tertentu seperti Iran maupun Suriah. Sebagian besar dana bagi pembangunan pemukiman Yahudi memang berasal dari lembaga-lembaga keuangan non-pemerintah. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat bagi Presiden Obama untuk melakukan langkah pembekuan tersebut dan seharusnya, pada periode keduanya, harga politik tersebut tidaklah sebesar pada periode pertama.

Di luar kendala-kendala tersebut, kepentingan Amerika Serikat dalam isu-isu lain di kawasan, selain perdamaian Palestina-Israel, harus tetap dipertimbangkan. Kompleksitas masalah nuklir Iran dan konflik internal Suriah, misalnya, tetap memberi dampak pada kebijakan Amerika Serikat dalam masalah Palestina-Israel. Meski demikian, langkah diplomasi John Kerry harus dilihat sebagai langkah yang positif. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Amerika Serikat dalam negosiasi Palestina-Israel sangat sentral.

 

Penulis adalah Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home