Loading...
OPINI
Penulis: Steve Gasperz 00:02 WIB | Jumat, 21 Februari 2014

Mencabut Akar Yogyakarta

SATUHARAPAN.COM - Setiap orang yang pernah berkunjung ke Jogja tentu tidak akan melewatkan jalan-jalan ke Malioboro dan Pasar Kembang. Sudah sejak lama – entah sejak zaman kolonial Belanda atau mungkin sebelumnya – kawasan ini sudah menjadi ikon kosmopolitanisme kota Yogya.

Turis (domestik dan mancanegara) berbaur melenggang menyusuri sudut-sudut Malioboro, saling menyapa dengan berbagai bahasa, saling menawar harga dengan bahasa tubuh (jari-jemari, lambaian tangan, mimik muka) lantas “deal!”: harga pas, barang dilepas, pelanggan puas. Kalau kocek lemas, nikmati saja Malioboro dengan mata karena sepanjang ruas jalannya pandangan kita bisa melahap suguhan sampai “kenyang” dan gratis barang-barang karya seni superkreatif ala Yogya.

Bagi penikmat foto[grafi], semua objek bisa menjadi latar untuk dijepret sana-sini atau sekadar “selfi”. Yang selalu membuat saya tak habis rasa kagum adalah betapa luar biasanya objek papan nama jalan “Malioboro” yang terpasang di ujung jalan (utara), berseberangan dengan Stasiun Kereta Api Tugu, dibelah oleh ruas jalan “Pasar Kembang”. Tidak pernah sepi dari kerumunan pencinta fotografi.

Satu lagi yang membuat saya kagum, di ujung lain (selatan) Malioboro depan Benteng Vreideburg, tepat di perempatan titik nol kota Jogja, berdiri sebuah patung raksasa setengah manusia (ke bawah) dan akar (ke atas), yang biasa disebut “patung akar”. Saya tidak tahu sejak kapan patung itu bercokol di situ tapi sejak pertama saya ke Yogya, patung akar sudah menjadi salah satu ikon Malioboro bahkan kota Jogja.

 (Foto: touremnews.co.id)

Pernah saya menanyakan apa arti simbolik patung akar itu kepada seorang pelukis jalanan di trotoar Malioboro. Dengan percaya diri ia menjawab: “O, itu simbol bahwa kemana saja orang Yogya pergi tidak akan pernah meninggalkan akar budayanya. Ya, bisa juga diartikan siapa saja yang pernah berkunjung ke Yogya, akan selalu mengenang bahwa ia juga berakar di sini – kota yang memberi kesempatan untuk semua budaya bertumbuh.” Luar biasa, bukan?!

Namun, sayang sekali, ikon kota Yogya itu – patung akar – kini sudah tercerabut dari tanahnya. Patung akar tidak lagi berakar. Akarnya yang kokoh menampilkan wajah multibudaya Yogya ternyata rapuh digerogoti kesempitan cara berpikir dan cara melihat kehidupan masyarakat Yogya yang menggeliat genit dan berwarna-warni.

Kedalaman seni didangkalkan oleh kepicikan kuasi-religiositas sehingga seni terjerembab hanya pada parameter “hitam-putih”; keluasan daya kreasi dan nalar manusia ditekuk dan dilipat hanya oleh kekakuan prapaham norma kesantunan yang semu dalam kabut epistemik “pornografi”. Lantas, norma sosial surut dalam batas-batas yang ditentukan oleh pejabat (representasi otoritas publik) yang gemetar berhadapan dengan teror segelintir orang yang tidak mewakili kepentingan publik.

Lihatlah apa yang terjadi. Atas nama semua itu, patung akar pun terjerembab tak lagi menjadi penanda kosmopolitanisme Yogya dan tergerus makna simboliknya sebagai perekat sosial para penikmat seni, yang saling berinteraksi meski hanya sekadar minta tolong difoto dan saling menilai hasil foto; atau bahkan di kaki patung akar itu, akar-akar cinta saling membelit pada pandangan pertama. Mereka tak mempersoalkan patung akar itu telanjang atau berbusana, karena sebenarnya yang tercipta adalah kekuatan-kekuatan simbolik yang membuka ruang-ruang perjumpaan segala bentuk keberbedaan (otherness) itu sebagai manusia.

Patung akar itu sudah melenggang meninggalkan arena Malioboro dan tumbang! Apakah itu pertanda akar-akar kosmopolitanisme dan pluralitas Yogya turut tercerabut dan tumbang? Entahlah.

Catatan ringkas ini hanyalah sebentuk kegelisahan saya karena merasa akar-akar keambonan saya sudah saling membelit dengan patung akar Malioboro. Saya menjadi Ambon di Yogya karena tanah budaya Yogya memberikan kesempatan untuk bertumbuh memahami keambonan saya di tengah riuhnya identitas-identitas budaya di Yogya. Saya juga menjadi Yogya karena perjumpaan-perjumpaan berbagai budaya dan agama menumbuhkan akar-akar persahabatan lintas-budaya dan lintas-iman di kota ini.

Oleh karena itu, tampaknya terlalu gegabah untuk cepat-cepat menyimpulkan bahwa akar-akar multikulturalisme Yogya sudah tercerabut. Namun, pada sisi lain, terlalu naïf pula untuk menyatakan bahwa semua berjalan biasa-biasa saja. Malioboro dan Pasar Kembang yang selama ini menjadi ruang publik masyarakat Yogya kini sedang bergeser menjadi arena konstestasi identitas, otoritas, dan politik – dan dipastikan agama selalu siap menunggangi atau ditungganginya. Salah satu “ormas” ternyata dengan mudah mendeterminasi instrumen[-instrumen] negara untuk memenuhi syahwat politiknya sendiri. Semua itu dilakukan bahkan dengan “teror”.

Ini adalah pelajaran mahal untuk Yogya yang selama ini bisa jadi terlena dalam buaian julukan “kota budaya” semata-mata karena otoritas politik Sultan Yogya yang memayungi semua pihak agar hidup bersama tapi tidak berinteraksi bersama. Apa yang terabaikan, menurut saya, adalah proses-proses saling mengakarkan perbedaan sebagai nomenklatur bersama dalam relasi-relasi sosial pada aras akar-rumput justru berlangsung secara fragmentaristik, sehingga belum menjadi pengalaman sempadan (frontier).

Dengan perkataan lain, multikulturalisme Yogya baru berhenti sebatas benturan perbatasan (boundaries) atau dalam istilah Victor Turner, “mere experience” tapi belum menjadi “pengalaman sempadan” itu sendiri atau “an experience”. Demikian lanjut Turner:

“Mere experience is simply the passive endurance and acceptance of events. An experience, like a rock in a Zen sand garden, stands out from evenness of passing hours and years and forms what Dilthey called a “structure of experience.” In other words, it does not have an arbitrary beginning and ending, cut out of the stream of chronological temporality, but has what Dewey called “an initiation and a consummation.” (Victor Turner, “Dewey, Dilthey, and Drama: an essay in the anthropology of experience” dalam V. Turner & E. Bruner [eds.], The Anthropology of Experience, with an epilogue by Clifford Geertz” [Chicago: Univ. of Illinois Press, 1986], hlm. 35).

Semoga saja peristiwa Yogya ini menjadi pembelajaran penting bahwa multikulturalisme pada hakikatnya adalah “pengalaman sempadan”. Hanya melalui pengalaman sempadan kita belajar untuk terus-menerus mempertimbangkan keberbedaan (otherness) bukan semata-mata sebagai diskursus tetapi lebih sebagai the logic of practice (Bourdieu) bersama kita. Entah di Yogya atau di mana saja.

Penulis adalah mahasiswa ICRS (International Consortium for Religious Studies) UGM, Yogyakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home