Loading...
HAM
Penulis: Martahan Lumban Gaol 11:32 WIB | Rabu, 13 Mei 2015

Janji Selesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu Hanya Repetisi

Ketua Setara Institute Hendardi (tengah), saat ditemui awak media di Kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta, pada Senin (8/12). (Foto: Dok.satuharapan.com/Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Setara Institute Hendardi menilai wacana Jaksa Agung HM Prasetyo untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) guna menyelesaikan pelanggaran hukum berat yang telah lama tak kunjung selesai hanya pengulangan pernyataan pemerintah dari rezim ke rezim.

“Pernyataan Jaksa Agung pada bulan April 2015 lalu untuk membentuk KKR  penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Kasus Trisakti dan Mei 1998, adalah repetisi dari pernyataan-pernyataan pemerintah dari rezim ke rezim,” ujar Hendardi dalam pesan tertulis yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, Rabu (13/5).

Menurut dia, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sejak awal tidak menunjukkan sikap politik yang kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu terlihat dari pemilihan sosok yang menempati jabatan Jaksa Agung, di mana Jokowi-JK terlihat ingin mengikari janji memutus mata rantai impunitas.

“Rezim Jokowi-JK dari semula tidak menunjukkan kemauan politik kuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, dari pilihan Jaksa Agung saja sudah tampak upaya ingkar untuk sungguh-sungguh memutus mata rantai impunitas,” ujar Hendardi.

Kini yang terjadi, dia menambahkan, masalah pelanggaran HAM masa lalu hanya sekedar acara seremonial belaka dan pengulangan janji pemerintah untuk menyelesaikannya.

Pada bulan April 2014 lalu, Kejaksaan Agung telah membentuk gugus tugas untuk membentuk KKR guna menyelesaikan pelanggaran hukum berat yang telah lama tak kunjung selesai.

Jaksa Agung HM Prasetyo menyebut UU No 26 2000 memberikan peluang untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi sebelum UU diterbitkan. Penyelesaian dapat dilakukan oleh KKR. Namun, KKR harus dibentuk dengan Undang-Undang. Peran DPR diperlukan untuk penyelesaian masalah ini.

"KKR itu dibentuk dengan UU makanya DPR yang harus itu," kata dia.

Prasetyo menambahkan, akan sulit menyelesaikan kasus lama jika menggunakan pendekatan yudisial, hasilnya pun tak akan maksimal. Tak hanya itu, bukti akan sulit ditemukan, saksi dan tersangka pun setali tiga uang. "Kalau dipaksakan diajukan ke persidangan hasilnya tidak memuaskan. Maka kita tawarkan non yudisial melalui rekonsiliasi," tutur Jaksa Agung.

Tim gabungan pun telah dibentuk untuk mempelajari, mencermati, dan menyimpulkan langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan pelanggaran ham berat masa lalu itu. Tim itu, kata dia, berdasarkan kesepakatan antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Koordinator bida Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), dan Kejaksaan Agung.

"Selama ini tahu ada yang diberikan tugas penyelidikan oleh Komnas HAM penyidikan oleh Jaksa Agung termasuk penuntutan. Jadi satu proses. Keberhasilan penuntutan sangat ditentukan oleh hasil penyelidikan," ujar Prasetyo.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home