Wapres: Pemerintah Telah Usut Kasus HAM 1998
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada awal masa reformasi atau pada 1998.
“Dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang berikutnya telah berusaha mengusut (kasus pelanggaran HAM 1998) dengan baik,” kata Jusuf Kalla kepada wartawan setelah acara pengarahan kepada peserta Rapat Koordinasi Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Hukum dan HAM di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (12/5).
Wapres mengingatkan bahwa pemeriksaan untuk balistik peluru dari pihak yang menembak juga telah dilakukan hingga ke luar negeri tepatnya ke Belanda.
Selain itu, ujar dia, proses hukum dan politik juga telah dilakukan di pengadilan dan DPR.
Ia memahami bahwa dalam pengusutan suatu kasus pasti tidak dapat ditemukan hasil yang memuaskan semua pihak.
“Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat juga ada presiden yang terbunuh tetapi tidak jelas siapa yang membunuh,” katanya.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah Republik Indonesia memperhatikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada pekerja di berbagai sektor seperti sejumlah kejadian baru-baru ini.
“Kami mendesak pemerintah untuk pertama, memberikan perhatian serius terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap pekerja, serta meningkatkan dan memperkuat pengawasan yang efektif dan independen untuk memerangi pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (2/5).
Haris Azhar mengingatkan pelanggaran HAM yang terjadi seperti pada kasus perbudakan Awak Buah Kapal (ABK) asing di Benjina, Maluku, serta buruh pabrik kuali di Tangerang.
Baca juga: |
Selain itu, ujar dia, kasus kriminalisasi terhadap pekerja HAM dan antikorupsi, lemahnya perlindungan pemerintah terhadap eksekusi mati buruh migran, hingga kekerasan terhadap pekerja di sektor informal.
Ia memaparkan, kesimpulan pantauan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB pada 2014 telah menyinggung sejumlah masalah yang kerap dihadapi oleh pekerja dan buruh yang bekerja di sektor ekonomi informal.
Haris mengungkapkan sejumlah catatan itu antara lain lemahnya UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dalam melindungi dan menjamin taraf hidup layak bagi pekerja sektor informal, serta kurangnya tenaga pengawas tenaga kerja di Indonesia.
Catatan lainnya adalah kurangnya kondisi kerja yang adil dan memuaskan bagi dua pertiga dari tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor ekonomi informal, serta terbatasnya cakupan skema jaminan sosial khususnya untuk pekerja di sektor ekonomi informal. (Ant)
Tanda-tanda Kelelahan dan Stres di Tempat Kerja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Stres berkepanjangan sering kali didapati di tempat kerja yang menyebabka...