Loading...
RELIGI
Penulis: Sotyati 13:22 WIB | Senin, 15 Agustus 2016

HUT ke-71 Kemerdekaan: Keberagaman Tercipta Jika Saling Menghargai dan Menerima

Pdt Arliyanus Larosa. (Foto: Dok satuharapan.com/Bayu Probo)

Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Sinode Gereja Kristen Indonesia (BPMS-Sinode GKI) Pdt Arliyanus Larosa MTh.

SATUHARAPAN.COM – Musuh bersama dalam wujud penjajah, mempersatukan gerak, semangat, dan hati para pendiri bangsa untuk berjuang bersama-sama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kebersamaan itu terjalin erat.

“Mimpi mereka pun tunggal. Yaitu, Indonesia merdeka. Karena itu, apa pun yang menghalangi pencapaian mimpi dan mengalahkan musuh itu akan mereka singkirkan bersama. Perbedaan-perbedaan yang tentunya ada di antara mereka, mereka singkirkan demi mengusir penjajah dan Indonesia merdeka,” kata Pdt Arliyanus Larosa, dalam wawancara tertulis dengan satuharapan.com.  

“Saya kira masih cukup banyak tokoh bahkan warga biasa di Indonesia saat ini yang tetap berkawan dengan baik meskipun mereka berbeda keyakinan. Saya sendiri memiliki sejumlah kawan dari umat beragama lain. Namun, harus diakui bahwa soliditas keberkawanan para founding fathers tampaknya lebih kokoh dibandingkan dengan tokoh-tokoh pada masa kini,” pendeta yang aktif dalam dialog antariman ini, menambahkan.

Satu hal lagi yang menyebabkan soliditas keberkawanan tidak sekokoh era founding fathers, menurut Arliyanus karena pada masa kini, para tokoh masyarakat dan agama tidak sepakat dengan musuh bersama. Korupsi dan narkoba, ia mencontohkan, yang jelas-jelas sangat berbahaya dan telah terbukti menghancurkan bangsa, tidak dipandang sebagai musuh bersama, karena ada sebagian yang justru mengalami keuntungan dari kedua musuh ini.

Keadaan itu semakin diperumit dengan perasaan terkekang oleh toleransi yang dipaksakan selama pemerintahan Orde Baru, yang, menurut Arliyanus,  di sana sini, entah terencana atau tidak, menanamkan benih-benih kecurigaan, bahkan prasangka, di antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat (SARA/suku, agama, ras, antargolongan).

“Maka ketika rantai yang membelenggu itu terlepas oleh reformasi, perasaan curiga antarkelompok itu punya kesempatan untuk diwujudkan dalam aksi permusuhan yang berbau sektarian. Ini semakin didukung oleh penyebaran idiologi radikal dari dunia luar yang begitu mudah masuk ke negara kita, Indonesia, serta ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan hukum, dengan tameng takut melanggar HAM,” Arliyanus menjelaskan.

Kelindan dari hal-hal itu, menurut pendapatnya, yang mebuat ideologi radikal sektarian tumbuh dengan subur.

Gambaran Ideal Kehidupan Keberagaman  

Gambaran ideal suatu kehidupan keberagaman, menurut Arliyanus, tercipta jika setiap kelompok saling menghargai dan menerima,  serta membuang prasangka.

Menghargai dan menerima, ia tegaskan, tidak berarti mencampuradukkan semua perbedaan itu. Saling menerima dan menghargai itu justru hanya muncul kalau setiap orang teguh dalam keyakinannya. “Keteguhan dalam keyakinan ini mengendalikannya untuk tak menyerang orang yang berbeda dan pada saat yang sama tidak gentar mendengarkan yang berbeda. Orang yang teguh pada keyakinannya, entah keyakinan agama atau keyakinan ideologi, tidak ketakutan terhadap yang berbeda, juga tidak mudah marah atau mengamuk ketika ia merasa keyakinannya diserang,” katanya.

Keadaan seperti itu lahir ketika pemahaman keagamaan itu tidak dangkal. Keadaan seperti itu akan muncul dengan sendirinya dari dalam diri orang-orang yang memahami betul apa yang ia yakini, dan pada saat yang sama mau mendengarkan secara jernih keyakinan orang lain. Dengan demikian, negara tidak perlu ikut-ikutan mengatur atau memaksakannya.

Hal lain yang dapat menolong terciptanya kehidupan keberagaman yang ideal adalah kemampuan untuk memilah mana hal-hal yang bersifat privat dan mana yang publik. “Hal ikhwal kehidupan beragama misalnya, pada hemat saya, adalah sesuatu yang bersifat privat. Hal-hal ini tak perlu terlalu dipertontonkan di ruang publik. Mempertontonkan hal ini secara berlebihan di ruang publik, hanya akan menimbulkan perasaan tak nyaman bagi kelompok yang lain,” ia mengingatkan.

Peran Pemuka Agama

Ketika kehidupan berkeyakinan tidak menjadi semakin baik, bahkan kecenderungan sektarian semakin mengemuka di negeri ini, orang pun menoleh ke pemuka agama. Gagalkah mereka menjalankan peran? Arliyanus jujur menjawab, “Bisa ya, bisa tidak.”

Bisa ya, karena, menurutnya, faktanya ada banyak umat yang pemahaman keagamaannya sangat dangkal, hanya di permukaan, karena itu sangat rentan terhadap sebaran atau kampanye ideologi radikal. Dan, pendangkalan pemahaman keagamaan itu adalah tanggung jawab para pemuka agama.

Sebaliknya, bisa juga tidak, menurut Arliyanus. Ia berpendapat, penguatan cara pandang dan praktik hidup radikal sektarian itu tidak melulu disebabkan oleh pemahaman keagamaan. Ketidakadilan ekonomi yang terlihat dengan sangat kasat mata, serta penegakan hukum yang tak konsisten dan tak adil, bisa menjadi penyebab. “Pada bagian ini, pemerintah tentu penanggung jawab utamanya,” kata Arliyanus. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home