Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:14 WIB | Selasa, 08 Maret 2016

Jepang Tawarkan Kebebasan Meneliti Kepada Warsito

Ilmuan Indonesia sekaligus penemu alat terapi kanker "Electro-Capacitive Cancer Therapy" (ECCT) Warsito Purwo Taruno hengkang ke luar negeri. Lembaga risetnya tidak mendapat kejelasan dari pemerintah. (Foto: opini.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penemu alat terapi kanker Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT), Dr Warsito Purwo Taruno mengatakan, pihak Jepang yang terdiri atas universitas, rumah sakit dan dokter menawarkan kebebasan dalam melakukan penelitian.

"Pihak Jepang, mengajak untuk bersama-sama mengembangkan ECCT," kata Warsito saat dihubungi Antara dari Jakarta, Selasa (8/3).

Dia juga mengatakan, pihak Jepang juga sudah mengetahui sulitnya situasi untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena itu mereka akan memberikan kebebasan pada Warsito untuk berkreasi.

"Rasanya ingin menangis membaca tawaran dari Jepang,`ayolah bersama-sama berkreasi secara bebas (di Jepang)`," kata dia.

Warsito sesungguhnya, ingin melakukan penelitian dan produksi massal alat terapi kanker itu di Tanah Air, serta kerja sama pemanfaatan dan aplikasi di negara-negara lain.

"Kenyataannya saat ini mandek semuanya, sudah tiga bulan dan tak tentu kelanjutannya, mana yang duluan datang ada kepastian atau nafas kita berhenti duluan," kata dia.

Jika tak ada kepastian dari pihak pemerintah, kata Warsito, maka pihaknya terpaksa mengambil tawaran kerja sama dari Jepang tersebut. Meskipun dengan konsekuensi alat terapi itu diproduksi massal di luar negeri.

"Harganya pasti lebih mahal. Apalagi kalo dibuat di Jepang, mereka bilang satu set Rp1 miliar pun ada yg mau beli."

Di akun jejaring sosialnya, Warsito mengeluhkan tak bersahabatnya kondisi untuk penelitian di Tanah Air.

Warsito menulis, kerasnya Indonesia bukan pada masalah infrastruktur atau sumber finansial yang terbatas, akan tetapi tidak tahu kepada apa atau siapa sebuah aturan melekat. Sehingga memang tak ada parameter untuk bisa mengukur dan memprediksinya.

Pengalamannya 12 tahun di Jepang dan tujuh tahun di Amerika pun, belum cukup menjadi bekal untuk menghadapi kondisi penelitian Indonesia yang serba tak bisa diprediksi.(Ant)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home