Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 10:08 WIB | Senin, 18 Juli 2016

John Key akan Bicara Ekspor, HAM dan Papua dengan Jokowi

Perdana Menteri Selandia Baru, John Key (kiri) ketika mengunjungi Presiden Joko Widodo di Kuala Lumpur 21/11 tahun 2015 (Foto: Pos Kota/Ist)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Hari ini Perdana Menteri Selandia Baru, John Key, akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, dalam lawatan resmi ke Indonesia.

Walaupun agenda utama kunjungannya kali ini adalah peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara, dua isu lain, yaitu soal Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya yang terkait dengan pelaksanaan hukuman mati dan masalah Papua, akan dia angkat dalam pembicaraan dengan Jokowi.

Menurut Menteri Perdagangan Selandia Baru, Todd McClay, misi Selandia Baru dalam kunjungan dua hari ini adalah meningkatkan perdagangan kedua negara.

John Key tiba di Jakarta pada hari Minggu (17/7) dari lawatan ke sejumlah negara di Eropa.

Sementara McClay bergabung dengan John Key di Jakarta dari Selandia Baru.

Sebagaimana dikutip dari Bloomberg, McClay mengatakan dirinya bersama PM berkunjung ke RI membawa delegasi dagang tingkat tinggi.

Indonesia merupakan pasar ekspor urutan 11 terbesar bagi negara itu.

“Perdagangan kedua negara saat ini berada di level NZ$ 1,6 miliar, dan kami ingin mencapai target yang ditetapkan oleh kedua negara yaitu NZ$ 4 miliar pada tahun 2024," kata McClay.

Selain mendampingi Key bertemu dengan Jokowi, McClay juga akan mengadkan pembicaraan dengan Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong.

Di luar pembicaraan perdagangan, Key akan mengangkat isu keamanan regional dan ancaman serangan teroris, namun yang dinilai akan banyak dibicarakan dan dinanti publik Selandia Baru adalah soal eksekusi hukuman mati.

Selandia Baru menentang hukuman jenis ini dan tahun lalu warga negara itu diesekusi hukuman mati di Indonesia terkait narkoba.

Ketika tiba di Jakarta pada hari Minggu (17/7), John Key menegaskan hal itu.

Menurut dia, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan kampanye yang kuat terhadap narkoba di Indonesia, dan ancaman hukuman mati adalah bagian dari itu.

Di sisi lain, John Key memastikan bahwa Selandia Baru menentang sepenuhnya hukuman mati.

"Kami mengatakan kepada semua negara, ketika kami sangat bersimpati dengan apa yang mereka hadapi, dan ketika semua orang yang didakwa melakukan kejahatan ini harus dimintai pertanggung jawaban, ada cara yang lebih baik untuk melakukannya ketimbang hukuman mati," tutur dia.

Selain isu hukuman mati, radionz.co.nz, melaporkan, Key juga mengakui akan mengangkat isu Papua dengan Presiden Jokowi.

Ia mengakui Presiden Joko Widodo sudah lebih terbuka mengenai masalah ini.

"Juga akan ada diskusi tentang Papua, maksud saya, pada masalah-masakah ini saya pikir Presiden telah mencoba lebih terbuka," kata dia.

Sementara mengenai isu terorisme, ia mengatakan bahwa di tengah serangan teroris di Indonesia pada awal tahun ini dan peristiwa di Nice, Prancis akhir minggu lalu, masalah keamanan global akan menjadi perhatian keduanya.

Dia mengatakan setiap pemimpin global khawatir tentang kebangkitan kelompok ekstremis ISIS.

"Dan kapasitas mereka (ISIS) merekrut pejuang dari mana saja di seluruh dunia, saya pikir Indonesia dan Prancis berpotensi memiliki jumlah  pejuang asing (ISIS) yang cukup besar, ini menyajikan komplikasi tambahan bagi mereka."

Setelah pertemuan mereka hari ini, Key dan Presiden Widodo dijadwalkan akan menandatangani kesepakatan tentang energi terbarukan dan upaya memerangi illegal fishing.

Key mengatakan selama pertemuan ia juga berencana untuk mendiskusikan hambatan perdagangan dengan Indonesia, khususnya yang dihadapi oleh  beberapa eksportir Selandia Baru.

"Ini merupakan potensi pasar yang besar bagi kami, 250 juta orang, penduduk muda sehingga kita melihat banyak peluang di sana dan itu adalah bagian yang kita akan berbicara kepada mereka, Indonesia adalah bagian  ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement, sehingga kami ingin terus medorong hal itu," kata dia.

Selandia Baru dan Indonesia merupakan bagian dari perjanjian perdagangan bebas 12-negara yang mulai berlaku pada tahun 2012.

Kendati kesepakatan perdagangan bebas itu telah mengurangi tarif, hambatan yang muncul justru yang bersifat non-tarif, yang oleh Selandia Baru dianggap sebagai hambatan serius.

Indonesia sebelum ini adalah pasar terbesar kedua bagi daging sapi Selandia Baru, tetapi ekspor mengalami penurunan hingga 84 persen sejak tahun 2010.

Pengusaha Selandia Baru mengeluh tentang banyaknya hambatan yang bersifat non tarif.

Pada tahun 2014, Selandia Baru dan Amerika Serikat bersama-sama mengadukan  Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, atas pembatasan ekspor daging dan keputusan atas pengaduan itu diharapkan diumumkan akhir tahun ini.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home