Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 18:35 WIB | Rabu, 09 Oktober 2013

Kak Seto: Kasus Penyiraman Air Keras karena Kurangnya Ruang Berekspresi

Kak Seto (kanan), duduk di sebelah Joko Widodo (kiri), Gubernur DKI Jakarta, dalam acara Dialog Publik TMR, Ragunan (8/10). (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Pelaku penyiram air keras ini kan sudah dewasa, mending dihukum  saja. Sanksi pidana. Itu yang harus dilakukan,” kata Kak Seto ketika dimintai  pendapatnya terhadap pelajar yang melakukan penyiraman air keras terhadap penumpang bus, di Ragunan (8/10).

Belum lepas dari perhatian kita, kejadian beberapa hari lalu, beberapa pelajar setingkat SMA menjadi pelaku penyiraman air keras (HCl atau asam klorida) kepada 13 orang penumpang Bus Patas 213 di Jalan Jatinegara Barat.

“Untuk kasus yang ini, mereka sudah bukan anak-anak lagi, sudah 18 tahun 4 bulan. Jadi, waktu saya diminta datang ke Polres saya bilang saya tidak bisa apa-apa karena mereka sudah mesti diperlakukan sebagai orang dewasa,” jelas laki-laki yang bernama lengkap Seto Mulyadi ini.

“Kalau yang di bawah umur harus rehabilitasi, sesuai dengan undang-undang karena mereka adalah korban dari lingkungan yang tidak kondusif,”

“Contohnya ada anak di Toboali, Bangka Selatan, ia dituduh mencuri motor, pada saat saya tanya ia bilang dipaksa, kalau tidak mau ia disiksa. Hal inilah yang tidak boleh terjadi. Ada berbagai faktor kemungkinan juga, karena perhatian orangtua, sampai pemerintah yang tidak mempunyai wahana untuk menyalurkan dinamika mereka itu,” kata Kak Seto.

Kurangnya Ruang Berekspresi bagi Remaja

Kak Seto menjelaskan cukup banyak anak yang melakukan hal seperti ini. Permasalahannya ini menjadi PR (pekerjaan rumah) Gubernur untuk menyalurkan dinamika remaja di Jakarta ini. Mereka (pelaku) sebetulnya orang yang kreatif, cerdas, potensial, tetapi tidak ada ruang.

“Zaman Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta sebelumnya), ada gelanggang remaja, itu mohon diaktifkan kembali. Ruang-ruang publik juga dibuka seluas mungkin sehingga mereka ada kesempatan untuk berekspresi,” tutur pria yang merupakan psikolog anak dan pembawa program untuk anak-anak ini.

Lalu, lanjutnya, sekolah dibuat ramah anak. Murid sekolah menurut penelitian di Twitter, saat ditanya 'apa yang kamu senangi kalau ke sekolah?' jawabannya 80% mengatakan ‘kalau guru sakit atau guru rapat.’

Sekolah itu tidak menyenangkan, seperti musuhnya remaja. Dampaknya, agresivitas mereka meningkat, mulai dari bullying, tawuran, kebut-kebutan, dan segala macam. Kenakalan remaja ini dampak dari dinamika mereka tidak tersalurkan dengan cara yang tepat melalui sistem pendidikan kita.

Bakat Remaja juga Perlu Mendapat Pengakuan

Kalau kita mau buat Jakarta yang layak anak, itu dimulai dari sekolah yang layak anak. Kurikulum yang tidak padat, mungkin nanti ujian nasional juga perlu dipertimbangkan, menurut Kak Seto.

“Untuk mengevaluasi kecerdasan anak remaja itu banyak, cerdas musik, cerdas gambar, cerdas omong, cerdas menulis, dan segala macam,”

“Jadi guru besar pun yang sudah capek-capek, gajinya paling tinggi 15 juta, Mas Tukul sekali ngomong 16 juta, sebulan bisa 1,2 miliar.”

“Mereka yang pintar omong, pintar musik, pintar bola, kadang-kadang tidak dihargai disekolah. Pernah ada anak yang tanding bola, gurunya bilang ‘kamu pilih sekolah atau pilih bola,’ hal itu pun diadukan. Ada juga dulu itu artis yang diadukan hal yang sama, pilih sekolah atau syuting,” kata Kak Seto.

Rencana Pak Jokowi untuk jam wajib belajar pada dasarnya baik, asal jangan kaku. Seperti mesin, Kak Seto memberikan contoh, kalau kerja terus lama-lama akan menimbulkan masalah baru. Anak-anak juga demikian, di luar kesibukan akademis mereka, ada yang hebat dalam paduan suara, teater, dan kegiatan-kegiatan di bidang seni dan olah raga lainnya, itu perlu diakui.

Jika bakat mereka ditolak dan kecerdasan mereka dipertanyakan, maka yang namanya tawuran, itu bisa menjadi kebanggaan mereka sebagai pelajar.

Menyayangi Lingkungan Bagian dari Menyayangi Sesama Manusia

Dimulai dengan menanamkan cinta lingkungan baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Kalau tidak, mereka tidak peduli temannya sampai ada yang tunanetra, buang sampah sembarangan, merusak pohon, mencorat-coret fasilitas umum, itu adalah potensi perilaku dan agresivitas, menurut pria kelahiran Klaten 62 tahun lalu ini.

Hal ini bisa dimulai dari klub-klub yang ada misalnya di Ragunan, Ancol, bahwa menyayangi binatang akan mengarah kepada menyayangi sesama manusia, menurut penelitian mereka yang sadis pada waktu kecilnya juga sadis terhadap kucing, anjing bisa disiksa, dibunuh, oleh karena itu terbawa ke manusia.

“Kalau Ragunan sendiri yang utama adalah konservasi, kalau saya adalah pendidikannya, baru konservasi kemudian rekreasi,” kata Kak Seto menegaskan.

“Jika kita berbicara tentang pendidikan untuk anak-anak, kita bicara untuk anak-anak 20 tahun mendatang, karena untuk anak-anak yang sekarang memang tidak mudah dan butuh waktu,” kata Kak Seto menutup pembicaraannya.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home