Loading...
INSPIRASI
Penulis: Hananto Kusumo 06:00 WIB | Minggu, 14 Agustus 2016

Keluarga Merdeka

Di tengah-tengah bangsa yang merdeka, banyak sekali keluarga yang berantakan, cekcok, minggat, bercerai, menjadi broken home. Mereka sesungguhnya dijajah oleh “pola cinta yang palsu”.
Saling mengasihi (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Ada saja yang tidak bisa mengerti maksud Yesus, sebagaimana yang disaksikan oleh Lukas, ketika mengatakan bahwa kedatangan-Nya membawa pertentangan di dalam keluarga, antara ibu dengan anak atau menantunya perempuan, antara anak laki-laki dengan ayahnya (Luk. Lih. 12:49-53).

Bahkan Yesus juga mengatakan bahwa seorang yang mau menjadi murid Yesus harus membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, hingga saudara-saudaranya (lih. Luk. 14:26). Apakah Yesus menghendaki para murid-Nya membenci keluarganya? Tentu saja tidak!

Dari seluruh ajaran dan tindakan Yesus sendiri hingga kematian-Nya di kayu salib (yang ditunggui Maria, ibu-Nya), Yesus secara bijaksana mengajarkan tentang kasih sejati, termasuk kasih di dalam keluarga.    

Jika benar demikian, lantas apa maksud Yesus tentang adanya pertentangan dalam keluarga itu? Sebenarnya itu tidak terlepas dari ajaran utama yang dikenal sebagai Hukum Kasih, yakni pertama, ialah mengasihi Allah 100%, dan kedua, yang sama dengan hukum pertama, ialah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Hukum kedua (kasihi sesama manusia) ini mestinya sama dengan hukum pertama, yakni mengasihi Allah 100%.

Kasih pada sesama, termasuk kepada anggota keluarga, mestinya adalah wujud kasih kepada Allah. Kasih kepada anggota keluarga tidak boleh berdasarkan pamrih atau kepentingan yang egoistis, melainkan berdasarkan kasih oleh dan kepada Allah. Itulah sebabnya Yesus tidak setuju ketika seorang mengasihi bapanya dalam rangka mendapatkan uang atau warisan, atau mengasihi istri atau anaknya agar dilayani, atau mengasihi anggota keluarga dengan kasih yang tidak tulus.

Yesus pun menegaskan bahwa ibunya dan saudara-saudaranya ialah mereka yang melakukan Firman Allah (lih. Luk. 8:21). Adapun isi pokok Firman Allah ialah kasih yang bersedia berkorban (Yunani: agape), bukan kasih yang transaksional, yang berpamrih. Kasih yang egoislah yang harus dipisahkan dari keluarga.

Kasih yang egois dalam keluarga ialah kasih yang terbelenggu oleh beban dosa: yakni oleh nafsu percabulan, keserakahan, dendam, atau kepentingan diri sendiri. Kasih yang benar diwarnai dengan hikmat atau kebijaksanaan Illahi, yakni kasih Allah sendiri, yang nyata oleh teladan pengorbanan di dalam diri Yesus Kristus. Inilah kasih yang membuat setiap keluarga dapat merdeka, dibebaskan oleh pola cinta palsu yang seakan menunggu ”bom waktu”.

Bahkan bangsa Indonesia meraih dan mempertahankan kemerdekaan setelah sepakat mengenakan kasih persaudaraan sebagai satu bangsa dan menyangkali ego daerah, etnik, agama, dan latar belakang golongan. Keluarga pun dapat merdeka jika melepaskan ego masing-masing dan mengenakan kasih yang memerdekakan: kasih yang tulus, kasih Ilahi! 

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home