Loading...
RELIGI
Penulis: Endang Saputra 17:42 WIB | Senin, 01 Agustus 2016

Kemajemukan Bangsa Diancam Ideologi Barat

Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As'as Sa'id Ali ketiga dari sebelah kiri di Hotel Rancamaya Bogor Jawa Barat, hari Senin (1/8). (Foto: Endang Saputra)

BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As'as Sa'id Ali mengatakan di era pasca Orde Baru dan pasca reformasi kondisi kemajemukan bangsa Indonesia menghadapi ancaman baru yang disebabkan oleh pengusung ideologi barat.

“Kondisi kemajemukan bangsa Indonesia menghadapi ancaman. Yang pertama, pengusung ideologi barat yang ingin memaksakan universalisme moral berbasis kebebasan individual," kata Ali di Hotel Rancamaya Bogor Jawa Barat, hari Senin (1/8).

Ideologi ini memaknai kemajemukan bukan dalam artian pluralitas sosial yang perlu dihargai secara proporsional, melainkan sebagai pluralisme, sebuah paham memaksakan persamaan di antara perbedaan, tanpa melihat otentisitas perbedaan yang memang tak bisa disamakan.

“Sayangnya, paham ini dilandasi oleh cara pandang liberalistik, dan ia menekankan kebebasan individu yang tidak boleh diintervensi oleh negara," kata dia.

Hal ini tentu mengabaikan peran negara sebagai penjaga rambu-rambu kemajemukan yang semestinya diajak untuk merawat keragaman di masyarakat.

Kedua, impor gerakan Islam radikal dari Timur Tengah yang monolitik dan anti kemajemukan. Dalam kenyataannya konflik antar agama sering dipicu oleh dua paham ini, sebagaimana ditengarai oleh Tariq Ali, dalam The Clash of Fundamentalism tahun 2003, yang melihat benturan peradaban (clash of civilization).

“Sebenarnya terjadi antara dua fundamentalisme liberal vs fundamentalisme Islam," kata dia.

Ketiga, penyiaran agama-agama baru atau kelompok agamanya yang mengindahkan perbedaan, sensitivitas agama dan kultur di masyarakat.

“Penyiaran ini sering dilakukan dengan menyembunyikan agenda sebenarnya, sehingga tidak didasari oleh keterbukaan dan sikap saling menghormati," kata dia.

Keempat, kebebasan informasi dalam dunia digital yang membuat masyarakat mudah mendapat askes, namun juga mudah terprovokator dengan isu-isu keagamaan.

“Berdasarkan atas kenyataan ini, maka umat beragama perlu kiranya berpijak pada prinsip-prinsip toleransi demi merawat perbedaan yang ada," katanya.

“Menempatkan prinsip-prinsip yang sama dari berbagai agama dan budaya, sebagai titik temu dan unsur pemersatu (common denominator)," dia menambahkan.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home