Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 12:03 WIB | Sabtu, 16 Agustus 2014

Kemenag Akui Ada Permasalahan Akut di Internalnya

Kemenag Akui Ada Permasalahan Akut di Internalnya
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof. Machasin. (Foto-foto: Elvis Sendouw)
Kemenag Akui Ada Permasalahan Akut di Internalnya
Para pembicara seminar (dari kiri-kanan) Ketua Umum ICRP, Direktur Megawati Institute, dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Musdah Mulia; Kepala Litbang Kemenag RI sekaligus Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Machasin; Manager Program Setara Institute, Ismail Hasani yang memandu diskusi; Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos (Choky); dan Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) RI, Prof. Machasin secara gamblang menjelaskan beberapa permasalahan akut di tubuh Kemenag RI selama ini. Kelalaian tersebut diharapkan tidak akan diulangi pemerintahan mendatang.

“Pertama, ada anggapan menjadi pejabat semakin tidak peduli dengan yang lain, misalnya pejabat Dirjen Islam di Kemenag hanya peduli soal Islam saja, tidak peduli soal agama lain. Ini mesti ada dirjen untuk urusan relasi antar umat beragama, karena selama ini belum ada,” kata Machasin saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional–Kepemimpinan Nasional Baru dan Pemajuan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan–diselenggarakan Setara Institute dan Sobat KBB di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/8).  

“Kedua, kelihatannya Kemenag hanya menjalankan pekerjaan rutin saja, tapi masalah-masalah pelanggaran kekebasan beragama/berkeyakinan tidak diselesaikan,” tutur Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini menambahkan.

Dari segi regulasi, Machasin menilai meskipun ada beberapa Undang-Undang (UU) beserta turunannya yang menjamin kebebasan beragama, namun tetap memperlakuan dengan tidak adil penganut agama lain di luar enam agama, dan hanya enam agama yang dilayani di Indonesia.

Ketidakadilan implementasi UU tersebut bisa kita lihat, yang pertama dalam perkawinan. Apabila agamanya tidak termasuk dalam enam agama, maka perkawinannya tidak bisa masuk di catatan sipil, akibatnya anak yang lahir tidak mendapatkan akta kelahiran. Kedua dalam pendidikan, di dalam UU mengatakan siswa berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan agamanya, tetapi kalau di luar enam agama, tidak bisa dilayani.

“Itu UU yang belum kita punya. Jadi harus ada semacam pengakuan oleh negara terhadap agama kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia, apalagi agama yang sudah diakui secara internasional (misal Yahudi, Tao, dsb), itu masih belum bisa dilayani di Indonesia,” simpul Machasin.

Machasin mengusulkan solusi dalam rangka pendaftaran agama yang belum bisa dilayani negara, setidaknya ada empat hal yang perlu dirumuskan. Pertama, agama itu mempunyai sistem ajaran yang khas, sehingga bisa membedakannya dengan agama lain, misal Kristen dengan Katolik. Kedua, ada upacara atau ritual yang bisa ditunjukkan. Ketiga, ada pemeluknya di Indonesia. Keempat, ada semacam representatif yang menghubungkan antara agama itu dengan negara, misal perwakilan, imam, atau organisasi terkait. 

Kalau empat hal ini sudah ada, maka negara bisa meregistrasi agama itu dalam catatan negara. Tapi Kemenag tidak bisa sendiri, bisa ditangani Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), atau lembaga negara lainnya yang dibentuk khusus meregistrasi agama.

Tujuan pemerintahan selain melindungi, seharusnya juga menjamin tidak boleh ada penyelenggaraan kehidupan beragama yang menyebabkan agama lain terganggu, misalnya  ketika Syiah dan Ahmadiah menyelenggarakan kegiatan ibadah, tetapi Islam Sunni tidak bersedia lantaran menganggap mereka sesat. Mestinya negara tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home