Loading...
ANALISIS
Penulis: Hardin Halidin 15:00 WIB | Jumat, 23 Desember 2016

Ketika Kain dan Pohon Pun Beragama

Sinterklas dan Pohon Natal sebenarnya hanya pemanis saja saat orang merayakan hari Natal. Tidak memiliki makna religius apa-apa, selain pemancing utama untuk orang berbelanja akhir tahun.

SATUHARAPAN.COM - Tahun ini, kemeriahan Natal telah dikalahkan oleh fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaan nonmuslim. Fatwa inilah yang kemudian menjadi amunisi kelompok tertentu dalam agama Islam ketika melakukan sweeping terhadap beberapa pusat perbelanjaan (terutama) di beberapa daerah di pulau Jawa. Beberapa pemerintah daerah juga sibuk membuat surat edaran yang merujuk pada fatwa MUI tersebut. Yang terjadi, umat Kristiani yang tengah larut dalam suka cita menyambut Natal kini telah dihadapkan pada situasi mencekam.

Berbagai kelompok telah memberikan pendapat yang menyayangkan adanya tindakan main hakim sendiri itu. Bahkan Presiden Jokowi sendiri telah memanggil Kapolri terkait dengan aksi-aksi sweeping itu setelah sebelumnya, di beberapa daerah, polisi bertindak bak ‘pengawal’ ketika kelompok radikal itu melakukan ‘sosialisasi’ fatwa MUI di pusat-pusat perbelanjaan.

Menurut MUI, fatwa ini lahir dari sebuah kegelisahan dan protes umat Islam, terutama pada karyawan perusahaan dan pusat perbelanjaan. Kabarnya, saban menjelang perayaan Natal, mereka ‘dipaksa’ oleh pimpinannya untuk menggunakan atribut Natal, terutama topi Sinterklas.

MUI menyebut fatwanya ini sebagai bagian dari toleransi umat Islam terhadap umat beragama lain. Saya tidak bisa memahami bagaimana fatwa yang telah menimbulkan kontroversi, bahkan di kalangan umat Islam sendiri ini disebut sebagai bagian dari toleransi.

Saya sendiri memandang fatwa ini cukup berlebihan, apalagi ditambah dengan embel-embel sebagai bentuk toleransi.

Pertama, MUI tidak bisa membedakan antara ritual keagamaan dengan pemanis dan penyemaraknya. Menganggap pakaian Sinterklas dan pohon Natal sebagai bagian dari ritus ibadah umat Kristen adalah kekeliruan terbesar. Sinterklas ataupun pohon Natal itu sesungguhnya tidak lebih dari ketupat dan ornament bernuansa Arab ketika perayaan Idul Fitri. Coba lihat gambar-gambar ucapan Idul Fitri dalam bentuk kartu, spanduk, baliho atau media lain yang banyak memasukan gambar onta di dalamnya. Karena itu, akan jauh lebih bijak jika sebelumnya MUI meminta pendapat para tokoh agama Kristen terkait dengan pandangan theologis mereka terhadap topi Sinterklas dan pohon Natal ini setiap moment Natal tiba.

Kedua, MUI sama sekali tidak melihat hal ini dari sisi strategi ekonomi para pelaku pasar. Mungkin yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah Fred Mizen dan Haddon Sundblom. Ketika pada awal tahun 1920-an, kedua illustrator Coca-Cola ini untuk pertama kalinya mengenalkan karakter Sinterklas dalam iklannya. Diyakini, karena ilustrasi keduanya itu, maka keuntungan minuman bersoda yang berbasis di Amerika ini mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam konteks dagang, Sinterklas telah menjadi power pendongkrak penjualan berbagai produk.

Ketiga, MUI juga terkesan tidak memahami hukum positif yang berlaku di negara ini. Jika memang argumentasinya adalah untuk melindungi karyawan yang beragama Islam atas pemaksaan pimpinannya bekerja, mestinya MUI tinggal menyampaikan persoalan ini kepada pemerintah dan aparat penegak hukum. Dan pemerintah serta aparat kepolisian harus menindaklanjuti laporan tersebut. Karena siapapun tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Apalagi hal ini terkait erat dengan keyakinan agama dari masing-masing individu. Terlalu banyak aturan hukum di Indonesia ini yang bisa menjerat tindakan mereka jika memang hal ini benar terjadi.

Keempat, faktanya saat ini fatwa haram tersebut malah memicu kontroversi. Alih-alih meningkatkan kerukunan di antara pemeluk agama yang berbeda, fatwa ini justru telah dijadikan perang statement di media massa yang berujung pada ketidaknyamanan antara satu pemeluk agama terhadap pemeluk agama lain.

Kelima, fatwa MUI yang terakhir ini, suka tidak suka, justru meruntuhkan kewibawaan MUI sendiri. Pro kontra tidak hanya melibatkan antarpemeluk agama yang berbeda, di kalangan umat Islam pun justru menjadi bahan diskusi yang tak usai.

Di Jayapura, Papua, dan juga mungkin di banyak daerah lain di Indonesia, para penjual topi Sinterklas dan pohon Natal serta ornament Natal lainnya kebanyakan beragama Islam. Di sepanjang jalan-jalan utama kota Jayapura, kita bisa melihat para pedagang ini menggelar topi Sinterklas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Apakah mereka akan mematuhi fatwa MUI ini? Saya pastikan tidak. Karena sampai sekarang, mereka masih berjualan dengan nyaman. Tapi apakah sikap mereka itu akan mengurangi keimanan mereka? Sekali lagi, saya yakin tidak. Karena menjelang lebaran, mereka akan berganti lagi dengan dagangan berornament Idul Fitri atau Idul Adha. Lantas, apakah itu mempermainkan agama karena selalu ‘berpindah’ dagangannya? Tentu juga tidak. Karena ini hanya soal sesuap nasi bagi mereka. Tidak ada hubungan dengan keimanan.

 

Kontroversi Sinterklas dan Pohon Natal

Di kalangan umat Kristen tokoh Sinterklas dan pohon Natal ini adalah sebuah kontroversi tersendiri. Sebagian besar gereja menganggap bahwa sosok yang diadopsi dari kisah Santo Nicholas, uskup dari Myra yang baik hati ini telah melenceng jauh keteladanannya. Bahkan telah mereduksi semangat Natal itu sendiri.

Lihatlah, setiap kali menjelang perayaan Natal, pernik-pernik bapak tua bertubuh tambun dengan jenggot putih tebal ini sangat mudah kita jumpai di mana-mana. Begitu juga dengan pohon Natal lengkap dengan kerlap kerlip lampu dan bintang di puncaknya. Keduanya telah berhasil menyingkirkan simbol dari kelahiran Putra Maryam sebagai esensi dari Natal yang sesungguhnya.

Tokoh Sinterklas, tentu saja termasuk topi merah putihnya yang terkenal itu, tanpa disadari justru dianggap telah melencengkan keimanan umat Kristen terhadap Yesus Kristus. Berbagai argument disampaikan untuk menguatkan tuduhan ini.

Menurut mereka, esensi Natal adalah memperingati kelahiran Sang Juruselamat manusia untuk menebus dosa manusia. Namun saat ini anak-anak senantiasa dinina-bobokan dengan cerita tentang kehadiran Sinterklas dengan hadiah Natal yang bagus-bagus. Bulan-bulan peringatan atas penantian kelahiran Yesus berubah dengan penantian panjang terhadap kehadiran Sinterklas.

Mereka juga menganggap bahwa fantasi tentang Sinterklas juga dianggap telah mengajarkan kebohongan besar orang tua terhadap anak-anaknya. Bagaimana mungkin seorang anak senantiasa diceritakan tentang Sinterklas yang terbang mengendarai rusa kutub di langit. Kondisi ini dikhawatirkan akan menimbulkan pemikiran pada anak-anak yang akan menganggap eksistensi Yesus Kristus tidak lebih dari sekadar mitos laiknya Sinterklas.

Selain itu, seorang anak juga senantiasa diberikan cerita bahwa Sinterklas hanya akan memberikan hadiah kepada orang yang berbuat baik. Sehingga anak pun menjadi termotivasi berbuat baik hanya karena ingin mendapatkan hadiah dari Sinterklas. Padahal, menurut mereka, perbuatan baik adalah buah dari iman, dan tidak ada hubungan dengan mengharap hadiah apapaun, apalagi dari Sinterklas.

Sinterklas dengan baju hangatnya, bukankah itu tampilan orang Eropa? Sedangkan pohon Natal? Ketika di musim dingin di mana Natal hadir, bukankah hanya jenis pohon ini yang bisa tumbuh baik di Eropa? Karena itu selalu digunakan sebagai pemanis Natal. Di Indonesia, mestinya lebih banyak pilihan pohon yang bisa digunakan untuk memeriahkan Natal.

Mungkin masih banyak argument yang disampaikan oleh mereka yang menolak kehadiran Sinterklas dalam moment Natal. Namun yang paling penting adalah bahwa baik Sinterklas maupun pohon Natal, sama sekali tidak disebutkan dalam Alkitab. Bagaimana mungkin menganggap Sinterklas dan pohon Natal sebagai ritus dari ibadah Kristiani jika tidak ada satupun ayat dalam Bible yang menyebutkan kedua hal ini?

Esensi dari umat Kristiani yang prihatin (meminjam kata SBY) atas pemujaan terhadap sosok Sinterklas ini adalah menghindarkan perayaan kelahiran Sang Penebus Dosa yang dilakukan dengan kebohongan-kebohongan. Karena kebohongan itu justru adalah perbuatan dosa yang dilarang oleh iman mereka sendiri.

Karena itu, sungguh sangat relevan thema Natal yang disampaikan dalam pesan Natal Bersama KWI dan PGI tahun ini. “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di Kota Daud” yang dinukilkan dari Lukas 2:11. Pemilihan tema Natal ini tentu saja tidak merespon fatwa MUI, karena pesan Natal ini disampaikan pada 10 November 2016 lalu. Sedangkan fatwa MUI baru terbit lebih dari satu bulan kemudian, yakni pada 14 Desember 2016.

Terkait fatwa MUI ini, Lukman Saefudin, Menteri Agama menyampaikan himbauannya. Beliau antara lain menyebutkan bahwa “seorang muslim tidak usah dituntut menggunakan kalung salib atau topi Sinterklas demi menghormati Hari Natal.  Juga umat perempuan nonmuslim tidak perlu dipaksa berjilbab demi menghormati Idul Fitri”.

Atas tanggapan Menteri Agama ini, seorang netizen, mendukung sepenuhnya himbauan menteri agama tersebut. Dalam akun Facebook-nya, Hillary John Kristyo T. yang beragama Katolik ini justru “mendesak agar himbauan ini diperluas kepada seluruh umat beragama, termasuk umat Kristen. Karena dalam iman Kristiani sendiri”, dia menyebutkan, “Sinterklas tak punya urusan dengan kekristenan dan bukanlah tradisi gerejani. Dia hanyalah kreasi komersial dari The Coca Cola Company yang mendompleng suasana Natal.”

Bertolak dari pemahaman umat Kristen yang prihatin ini, lantas apa yang mesti dipersoalkan MUI dengan fatwanya itu? Kenapa pula telunjuk kita begitu lancang menunjuk muka umat Kristen sebagai penghancur akidah umat Islam? Jihad apa yang hendak ditunjukkan oleh kelompok yang melakukan sweeping itu jika umat Kristen sendiri sangat menyayangkan kehadiran Sinterklas dalam perayaan Natal yang telah mendegradasi esensi Natal mereka?

Kehadiran Sinterklas dan pohon Natal ini terang benderang (masih meminjam kalimat SBY) hanya terkait dengan persoalan kapitalisme. Para pemilik modal itu hanya menggunakan moment Natal untuk meningkatkan keuntungannya. Mereka juga akan menggunakan moment Idul Fitri untuk kepentingan yang sama. Tidak lebih. (“Hohohohooo….. kalian semua tertipu”, kata si kapitalis).

 

Kain dan Pohon Pun Beragama

Fatwa MUI ini mengingatkan kita pada konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu, bahkan batu pun telah memiliki agama laiknya umat manusia. Dengan fatwa ini MUI mencoba memperluasnya dengan menempatkan kain (dalam bentuk topi) dan pohon. Bahwa pohon pinus itu agamanya Kristen. Topi yang berwarna merah dengan aksen putih itu agamanya Kristen. Karena itu, jika umat Islam menggunakannya, maka mereka akan menjadi auto kafir.

Betapa kita sangat mudah terjebak dalam simbol-simbol yang sangat artifisial dan tidak penting. Lebih parahnya lagi, kita menjadikan pemahaman keliru atas simbol-simbol itu untuk memperlebar perbedaan. Akhirnya semangat Natal yang penuh kedamaian itu kini dipenuhi oleh rasa was-was bahkan ketakutan.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural dan relasi sosial yang sangat dinamis ini, sebaiknya ormas agama apapun lebih bijak mengeluarkan pandangan keagamaan. Apalagi jika pandangan, himbauan keputusan atau fatwa atau apapun namanya, dibuat dalam suasana kebatinan yang diliputi kemarahan pada satu kelompok tertentu.

Dalam situasi seperti ini, saya harus menyampaikan apresiasi dan hormat yang mendalam atas sikap beberapa kyai dan ulama-ulama di Indonesia yang terus berupaya menjaga kokohnya keindonesiaan kita dengan senantiasa menghadirkan kedamaian. Beliau-beliau tidak memilih untuk menari di atas fatwa MUI ini. Di antara mereka adalah KH. Mustofa Bisri, Buya Syafii Maarif, KH. Said Aqil Siraj. Juga tidak ketinggalan KH. Quraish Shihab, serta beberapa ulama lainnya.

Dan akhirnya, kepada saudaraku umat kristiani, dari keteduhan hati yang dalam, saya mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru 2017. Semoga damai Natal semakin memperkokoh persaudaraan kita.

 

Penulis adalah aktivis Ilalang Papua

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home