Loading...
HAM
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 02:19 WIB | Selasa, 07 Januari 2014

Komnas HAM Panggil BNPT Dalami Penembakan Teroris

Karopenmas Divhumas Polri Brigjend Boy Rafli Amar saat menunjukkan barang bukti milik terduga teroris pada Jumat (3/1). (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memanggil Ketua Badan Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai untuk mendalami penembakan terduga teroris yang rentan akan pelanggaran HAM.

"Kita akan memanggil Ketua Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) minggu ini Insya Allah dan pihak Mabes Polri untuk memeriksa dan berdiskusi berkait dengan barang bukti penembakan terduga teroris di Tangerang Selatan," kata Komisioner Komnas HAM Nur Kholis di Mabes Polri, Jakarta, Senin (6/1).

Dia mengatakan, pihaknya juga akan mengusahakan untuk bertemu keluarga korban dan pendampingnya untuk mengumpulkan informasi terkait.

"Sedapat mungkin bertemu keluarga korban, oleh karena itu kita akan bekerja terkait temuan awal hingga saat ini," katanya.

Nur juga akan mengkaji hal penting yang berkaitan, terkait rekomendasi dari berbagai pihak, yakni teologi atau ajaran. 

"Tadi dari Mabes Polri ada beberapa barang bukti yang penting yang menurut saya berhubungan dengan ajaran. Nanti akan kita nilai terkait ajarannya itu dengan BNPT dan akan kami sampaikan ke Komisi III DPR," katanya.

Dia juga akan menggunakan dua pendekatan yang bisa dilakukan, yakni aspek penegakan dan pencegahan. 

"Sekaligus mendalami apakah dalam peristiwa Ciputat itu ada pelanggaran HAM atau tidak. Mudah-mudahan kali ini pendekatan kita lebih komprehensif dengan menilai peristiwanya dan dilihat dari sisi teologi," katanya. 

Nur menduga ada kaitannya dengan teologi karena dalam penggerebekan enam teroris di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan malam tahun baru 2014 lalu, ditemukan buku-buku yang terkait dengan ajaran "Tadzkirah" karya Abu Bakar Ba`asyir.

Dalam buku tersebut diajarkan bahwa merampok atau mencuri dihalalkan untuk aksi-aksi terorisme yang mereka sebut "jihad" itu.

Karena itu, Nur mengatakan pihaknya perlu mengetahui ajaran-ajaran dalam buku tersebut terkait penarikan atau pelarangannya.

"Karena ini terkait `freedom of expression` (kebebasan berekspresi) apakah memang dalam konten buku itu mengandung unsur terlarangnya ketertuban umum. Nanti akan kita nilai, jadi sekalian koordinasi dengan Mabes Polri," katanya.

Sebelumnya, enam terduga teroris tewas dalam baku tembak dengan Densus 88 Antiteror Mabes Polri di rumah kontrakan Jalan KH Dewantoro Gang H Hasan RT 04/07 Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan.

Terduga teroris tersebut diduga kuat berkaitan dengan anggota polri Bripda Maulana dan Aipda Kus Hendratma di Pondok Aren, peletakan bom di warteg di Panongan dan perampokan Bank BRI di Tangerang Kota pada (24/12) lalu karena ditemukan uang yang masih dalam ikatan senilai Rp 200 juta. 

"Kami melihat dan mendapat penjelasan terkait dengan bukti-bukti yang didapat di tempat kejadian perkara (TKP), baik di Ciputat maupun di Rempoa," kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila di Mabes Polri, Jakarta, Senin.

Siti mengatakan bahwa pihaknya telah melihat kembali barang bukti, termasuk di TKP 1 saat terduga teroris Dayat Kacamata alias Daeng tertembak dalam keadaan menaiki sepeda motor dan TKP 2 di rumah kontrakan, lokasi lima terduga teroris lainnya tewas saat baku tembak dengan Densus 88 Mabes Polri. 

Menurut Siti, hal itu penting didiskusikan karena menyangkut ancaman di luar ancaman terorisme, terutama terkait dengan teologi, karena ini penting untuk dilihat pada ancaman apakah ini sampai pada ancaman ideologi bangsa atau tidak.

Oleh karena itu, menurut dia, tidak cukup hanya meminta keterangan polisi, tetapi juga harus melibatkan pemerintah dan unsur terkait untuk dikaji secara serius.

"Kami akan minta keterangan saksi. Jadi, kami sudah minta keterangan saksi anggota Densus yang tertembak, nanti kami juga akan mendengarkan (keterangan) keluarga korban (anggota Densus 88)," katanya.

Namun, saat ini pihaknya belum pada kesimpulan karena masih mengumpulkan data dan keterangan terkait.

"Kami belum pada kesimpulan karena ini bukti dan masih dalam olah TKP, kami akan meminta keterangan saksi, mengagendakan pertemnuan dengan Kapolri, jadi masih mengumpulkan semua. Seluruh keterangan akan kami rekonstruksi mana yang logis dan mana yang tidak," katanya.

Pernyataan tersebut menyusul pro dan kontra penembakan terduga teroris yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur dan undang-undang yang berlaku karena terduga teroris tidak ditangkap hidup-hidup, tetapi langsung ditembak. 

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman mengatakan bahwa upaya tersebut untuk menyelamatkan nyawa petugas Densus 88 yang juga tengah diserang oleh para kawanan terduga teroris.

"Polisi tidak akan menembak mati kalau tidak membahayakan. Jika membahayakan dan malah melempar bom, tentu kita tidak ingin jatuh korban lebih banyak," katanya.

Hal senada juga disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Boy Rafli Amar yang menjelaskan bahwa prosedur negosiasi selalu dilakukan ketika penyergapan teroris sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme.

Dia mengatakan bahwa personel Densus 88 sudah melakukan beberapa upaya negosiasi, seperti mengimbau teroris untuk keluar dan menyerahkan diri. Namun, karena kondisinya mengacam nyawa, teroris tersebut juga melepaskan tembakan, terjadi saling tembak.

"Sudah banyak contoh petugas-petugas kita meninggal dunia karena kalah cepat ditembak oleh mereka para terduga teroris itu," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari yang menilai bahwa tindakan penembakan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam penangkapan terduga teroris di Ciputat tidak sesuai dengan konstitusi karena tidak menjalankan prinsip-prinsip negara hukum.

Menurut dia, tindakan Tim Densus 88 Antiteror yang menembak mati para terduga teroris saat penangkapan telah melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum.

"Saya hanya mengingatkan kepada Kepolisian RI, terutama Densus 88, akan bunyi UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Maka, para terduga teroris itu boleh dihukum mati, tetapi harus melalui keputusan pengadilan. Itu baru namanya negara hukum," ujarnya. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home