Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 06:24 WIB | Rabu, 26 Februari 2014

Komnas Perempuan Mendorong Terlaksananya Pengadilan Terbuka dan Akuntabel

Moderator (Andy Yentriyani), Komisioner Komnas Perempuan (Kunthi Tridewiyanti), dan Majelis Eksaminator (Maruarar Siahaan, I Dewa Gede Palguna, Sulistyowati Irianto, Jayadi Damanik) dalam pemaparan hasil eksaminasi publik pada Selasa (25/2), di Grand Cempaka Hotel, Jakarta Pusat. (Foto: Equvalent Pangasi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong terlaksananya pengadilan yang terbuka dan akuntabel di Indonesia, terutama dalam mekanisme Judicial Review di Mahkamah Agung (MA).

Dalam usaha mendorong terlaksananya pengadilan yang transparan tersebut, Komnas Perempuan mengadakan Seminar Hasil Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Agung pada Selasa (25/2) di Grand Cempaka Hotel, Jakarta Pusat.

Dalam siaran pers, Komnas Perempuan mendesak adanya upaya merawat hak konstitusional warga negara, terutama perempuan, dalam konteks otonomi daerah. Menurut Komnas Perempuan, upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui pengadilan yang terbuka dan akuntabel dalam mekanisme Judicial Review (JR) di MA yang dipandang sebagai garda terdepan untuk menghadirkan keadilan dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.

Penolakan Judicial Review

Demi tercapainya pengadilan yang ideal tersebut, Komnas Perempuan bersama jaringan organisasi masyarakat sipil dan didukung Komisi Yudisial (KY) memprakarsai eksaminasi publik.

Eksaminasi ini terutama untuk terhadap putusan MA No. 16P/HUM/2006 atas permohonan JR terhadap Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan Putusan MA No. 26 P/HUM/2007 atar permohonan JR Perda Kabupaten Bantul No. 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran.

Majelis Eksaminator yang diketuai oleh Dr Maruarar Siahaan, SH itu telah memberikan kesimpulan dan rekomendasi eksaminasi publik yang telah dibacakan di KY pada 18 Desember 2013.

Hasil eksaminasi publik menunjukkan bahwa putusan MA menolak permohonan JR kedua Perda karena alasan formil yang menurut Komnas Perempuan tidak tepat, bertentangan dengan mandat Konstitusi, dan berakibat pada diskriminasi yang dilembagakan, terutama pada perempuan.

Maruarar mengatakan, “ini tidak adil sebab jika melihat razia pelacuran, hanya perempuan yang ditangkap oleh petugas, yang laki-laki dibiarkan pergi begitu saja. Padahal, pelacuran itu juga terjadi karena laki-laki yang mencarinya.”

Selanjutnya Majelis Eksaminator juga menggarisbawahi ketidakcermatan atau kelalaian dalam penyusunan kebijakan daerah dalam memenuhi berbagai aspek hukum, terutama hukum acara pidana, hukum tata negara, dan hokum hak asasi manusia (HAM).

Alih-alih melindungi perempuan, kedua Perda tersebut dinilai diskriminatif karena justru telah memberangus kebebasan dan mengkriminalisasi perempuan.

Rekomendasi: Pengadilan Terbuka dan Akuntabel

Demi menyikapi situasi timpang tersebut, Majelis Eksaminator merekomendasikan perbaikan mekanisme JR di MA agar menjadi proses peradilan yang terbuka dan akuntabel.

Peradilan yang ideal itu akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya reformasi MA secara internal maupun melalui revisi undang-undang (UU) mengenai MA.

Melalui proses peradilan yang terbuka, MA diharapkan tidak hanya melakukan pemeriksaan berkas namun juga dapat memeriksa fakta-fakta mengenai kepentingan perlindungan warga negara dari bahaya kebijakan diskriminatif.

Dengan demikian, putusan MA dapat mencerminkan pemahaman yang komprehensif mengenai norma HAM, Konstitusi, serta kesetaraan dan keadilan gender, di samping aspek hukum tata negara, hokum pidana, dan hukum acara pidana.

Selain perbaikan mekanisme JR di MA, Majelis Eksaminator turut memberikan rekomendasi lainnya antara lain seperti pengembangan standar kewajiban uji tuntas di berbagai lembaga negara, termasuk lembaga nasional HAM yang independen; pengkajian lanjutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas usulan Amandemen Konstitusi untuk menyerahkan pengujian aturan perundang-undangan di bawah UU kepada Mahkamah Konstitusi (MK); upaya perdata untuk memenuhi hak korban atas pemulihan secara hukum; dan integrasi norma HAM, Konstitusi serta Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam pendidikan hukum.

Semua langkah ini diharapkan dapat memantapkan upaya pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, terutama dalam menghadirkan keadilan tanpa diskriminasi atas dasar apa pun.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home