Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 16:50 WIB | Kamis, 25 September 2014

Konferensi di Australia Soroti Kinerja Pemerintahan SBY

Gedung Coombs Theater Australia National University (ANU) di Canberra dipenuhi peserta Indonesia Update. (Foto: radioaustralia.net.au)

CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi topik utama Indonesia Update Conference (sering disebut sebagai konferensi tentang Indonesia yang terbesar yang digelar di luar Indonesia), diselenggarakan di kampus Australia National University (ANU), Canberra, 19-20 September 2014.

Konferensi yang digelar tahunan sejak 1983 itu, kali ini membahas 10 tahun masa kepemimpinan Presiden SBY dengan tajuk ‘Yudhoyono years: an assessment’. Tak kurang dari 400 peserta terdiri dari Indonesianis, akademisi, pemerhati Indonesia dan mahasiwa Indonesia yang sedang belajar di Australia berbondong-bondong ke Canberra menghadiri konferensi bergengsi yang diselenggarakan oleh ANU Indonesia Project, College of Asia and the Pacific tersebut.

Selain itu hadir juga ahli ekonomi, politik, lingkungan, HAM dan gender dari berbagai negara yang mempresentasikan gagasan dan penilaian mereka atas kinerja SBY dalam berbagai bidang selama menjabat presiden selama dua periode tersebut.

SBY adalah presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia secara demokratis pada tahun 2004. SBY juga presiden pertama yang dipilih kembali sebagai presiden pada tahun 2009.

Hak Asasi Manusia (HAM)

Pembicara Robin Bush dari Universitas Nasional Singapura  menilai, dalam soal perlindungan terhadap hak-hak minoritas SBY dianggap kurang berorientasi pada minoritas dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan oleh Abdurrahman Wahid.

“SBY dalam beberapa momen krusial dianggap telah gagal menunjukkan niat dan kemauan politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.” kata Dominic Berger, seorang kandidat doktor ilmu politik di Australian National University Canberra.

Kasus Munir yang dianggapnya sebagai test of our history pun gagal dituntaskan. Namun, SBY jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kebijakan yang ada di era Suharto.

Kesejahteraan Sosial

Menurut dosen senior pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, kebijakan desentralisasi yang diterapkan, prestasi SBY jauh dari ekspektasi publik, padahal banyak program kesejahteraan sosial yang diinisiasi pada era-nya.

“Ada tiga hal yang menjadi bukti ketidaksuksesan SBY. Pertama, Indonesia kehilangan sisi kompetitif di ranah pendidikan. Kedua, Indonesia jadi lebih bergantung pada subsidi dan bantuan sosial lainnya. Ketiga, Indonesia gagal mewujudkan Millenium Development Goals dalam bidang kesehatan,” jelas Faisal.

Kebijakan Lingkungan

Mantan koordinator Tim Gugus Kerja mengenai Iklim dan Hutan Indonesia, Avi Mahaningtyas berpendapat bahwa dalam soal kebijakan lingkungan, SBY dianggap punya komitmen yang baik dalam hal kebijakan perubahan iklim dalam skala nasional dan global. Namun ia tidak strategis dalam menggunakan momentum politik, utamanya lambat dalam mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan.

SBY mengesahkan UU Lingkungan Nomor 32/2009 yang sebenarnya bisa menjadi amunisi penting untuk mewujudkan janji-janjinya, namun lemah dalam penegakan aturan. 10 tahun kepemimpinan SBY dapat dinilai dengan frasa ‘big commitments, slow results’ (banyak komitmen besar tetapi hasilnya lambat). 

Bahkan, oleh pembicara Patrick Anderson penasehat kebijakan dari komunitas HAM Inggris bernama The Forest Peoples Programme, Kementrian Lingkungan Hidup dianggap sebagai institusi besar yang tak punya kekuatan dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.

Kebijakan Dalam Negeri

Dosen ilmu politik dari Universitas La Trobe di Melbourne, Dirk Tomsa menyampaikan pendapatnya terkait bidang politik dalam negeri, misalnya isu desentralisasi, ia berasumsi bahwa kebijakan ini di rezim SBY tidak dianggap sebagai keberhasilan yang serius juga tidak sebagai kegagalan total.

“Pemekaran daerah dan provinsi yang diterapkan tidak selalu menguntungkan dan juga merugikan. Beberapa kelemahan dalam menerapkan kebijakan desentralisasi ini telah membuat pemerintah mencoba menata ulang kebijakan itu,” kata Tomsa.

Bidang Hukum

Sementara dalam bidang hukum menurut Tomsa, MK di bawah pimpinan Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD dianggap berhasil memberi keputusan yang adil dan konstitusional secara umum. Hanya saja di akhir jabatan SBY, Akil Mochtar yang menggantikan Mahfud MD menodai pencapaian itu karena kasus suap.

Era kepemiminan Mahfud MD ditandai dengan meningkatnya aktivisme perundangan dalam negeri, dengan MK menginvalidasi 105 kasus dari 404 kasus yang diproses.

Kebijakan Luar Negeri

Dalam konferensi itu mengemukakan warisan SBY dalam kebijakan luar negeri adalah keberhasilannya membuat Indonesia diperhitungkan kembali dalam peta perpolitikan global. Hal ini dianggap positif karena sejak awal periode kepresidenan, ia langsung menghadapi kondisi geopolitik yang tidak menguntungkan misalnya ancaman gerakan separatisme, terorisme, krisis finansial dan juga reformasi politik yang belum beres.

SBY juga dikatakan berhasil mengangkat ekonomi Indonesia ke tingkat yang lebih baik, sehingga Indonesia tergabung dalam G20. Lalu, ia berhasil membina hubungan yang baik dengan Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).

Namun, menurut Evi Fitriani, pengajar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, secara umum, platform politik luar negeri Indonesia dianggap tidak naik signifikan.

“SBY cenderung menggunakan pendekatan ‘thousand friends zero enemy’. Selain itu, masyarakat internasional dianggap lebih memahami kebijakan politiknya daripada komunitas dalam negeri Indonesia sehingga dalam beberapa hal, SBY lebih memilih mengurus masalah hubungan internasional yang berhubungan dengan Indonesia daripada memberi perhatian serius dan menyelesaikan isu-isu domestik.” kata Evi Fitriani. (radioaustralia.net.au)

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home