Loading...
HAM
Penulis: Kartika Virgianti 07:21 WIB | Selasa, 03 Juni 2014

Korban Desak Presiden Keluarkan Kepres Peradilan Mei 98

Koalisi Melawan Lupa saat menyampaikan tuntutan mereka kepada pimpinan MPR/DPR RI. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Belasan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang tergabung dalam Koalisi Melawan Lupa bersama keluarga korban mendatangi pimpinan MPR/DPR RI mendorong presiden—di ujung kekuasaannya—agar mengeluarkan Kepres (Keputusan Presiden) peradilan untuk penghilangan paksa itu pada peristiwa Mei 98.

Mereka juga menyampaikan penolakannya pada capres yang pernah dipecat militer lantaran diduga terlibat dalam peristiwa Mei 1998. Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi mengatakan bahwa pernyataan Prabowo Subianto–salah satu capres, adalah satu momentum politik untuk mengusut kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang selama ini tidak diadili, dan mengungkap peristiwa itu secara benar. Pemilu harus dijadikan ajang bagi seleksi politik, peradilan politik bagi orang-orang bermasalah di masa lampau. 

“Saya kira itu keputusan yang lebih bijaksana, daripada misalnya memikirkan bagaimana berkoalisi dengan para pelanggar HAM itu. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana nanti seorang presiden yang merupakan panglima tertinggi TNI, itu adalah seorang militer yang pernah dipecat,” kata Hendardi saat konferensi pers di Kantor Ketua MPR RI, Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (2/6).

Sebelumnya, Koalisi Melawan Lupa mendesak MPR/DPR agar menindaklanjuti pernyataan mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad pada era presiden Soeharto, Prabowo Subianto dalam presentasinya pada momentum politik di Kantor Pepabri, bahwa ia siap diklarifikasi terkait dengan peristiwa Mei 1998. Serta mengusut pernyataan mantan Kakostrad, Kivlan Zen yang mengatakan tahu keberadaan 13 korban penghilangan paksa pada peristiwa tersebut.

Lebih lanjut Hendardi mengakui memang banyak pertanyaan akan kaitannya pelanggaran HAM dengan pileg dan pilpres. Akan tetapi ia menampik desakan tersebut adalah sebuah kampanye hitam bagi salah satu kubu capres.

“Kami menggarisbawahi tidak dalam posisi menyerang, mendukung, membela kandidat capres tertentu dalam menaikkan persoalan ini. Yang kami lakukan adalah terus menerus melawan lupa atas kejahatan kemanusiaan. Semuanya untuk kepentingan penegakkan hukum, tetapi yang terpenting adalah keluarga korban tahu status dan keberadaan anggota keluargnya yang hilang itu,” urai Hendardi.

Dia pun menerangkan bahwa yang ia ucapkan sungguh bukan sekedar kampanye hitam seperti yang dituduhkan segelintir pihak. Buktinya adalah aktivis HAM yang terus menerus menuntut usut kasus penghilangan paksa, melalui aksi kamisan yang sudah dilakukan 350 kali bahkan lebih oleh para korban dan keluarganya di depan Istana Negara, bahkan tidak pernah absen mereka lakukan.

Hendardi menyesalkan aturan-aturan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terkesan sangat sungkan menilai seseorang sah atau tidaknya menjadi calon presiden.

“Persyaratannya terlalu sempit, hanya pakai surat kepolisian, sehingga masa lalu seseorang tidak bisa terbuka dalam hal ini. Surat kesehatan juga sama tidak jelasnya, bukan hanya raganya saja, jiwanya juga mesti dibuka seperti apa,” cetusnya.

Juru bicara Koalsi Melawan Lupa, Al Araf turut menambahkan, DPR harus segera memanggil panglima TNI untuk menjelaskan dan membuka kepada publik peristiwa penculikan tersebut, khususnya pasca pernyataan Prabowo dan Kivlan Zen.

Sehingga, lanjut Direktur Program Imparsial itu, dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang menyatakan alasan pemecatan Prabowo menjadi terang benderang di mata publik. Publik harus tahu jika memang ada permasalahan terkait dengan capres tersebut. 

“Penting bagi Komisi I DPR agar segera memanggil panglima TNI, Prabowo dan Kivlan Zen yang menyatakan mengetahui keberadaan 13 orang yang hilang. Keterangan Kivlan dan Prabowo akan menjadi titik terang bagi keluarga korban yang telah kehilangan anggota keluarganya sendiri,” tandas Al Araf.

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home