Loading...
DUNIA
Penulis: Bayu Probo 20:26 WIB | Selasa, 04 Februari 2014

Korea Utara Punya Universitas yang Didanai Barat

Korea Utara Punya Universitas yang Didanai Barat
Pyongyang University of Science and Technology. (Foto-foto: bbc)
Korea Utara Punya Universitas yang Didanai Barat
Tiap pagi ada senam bersama.
Korea Utara Punya Universitas yang Didanai Barat
Satu-satunya universitas yang punya jaringan internet.

LONDON, SATUHARAPAN.COM – Di jantung kediktatoran Korea Utara, sebuah universitas—sebagian besar dibayar oleh Barat—berusaha membuka pikiran elite masa depan negara komunis itu. Wartawan BBC Panorama telah diberikan akses yang unik.

Memasuki Pyongyang University of Science and Technology, akan segera jelas ini bukanlah perguruan tinggi biasa.

Seorang penjaga militer memberi hormat kepada kami saat kendaraan kami melewati pos pemeriksaan keamanan. Begitu di dalam kampus, kami mendengar bunyi derap langkah orang berbaris dan bernyanyi mars, bukan oleh penjaga, tetapi siswa itu sendiri.

Mereka adalah anak-anak dari beberapa orang paling berkuasa di Korea Utara, termasuk tokoh militer senior.

“Komandan tertinggi kami Kim Jong-un, kami akan membelanya dengan nyawa kami,” mereka bernyanyi saat mereka berbaris untuk sarapan.

“Patriotisme adalah tradisi,” kata mahasiswa tahun pertama yang berumur 20 tahun itu. “Lagu-lagu yang kami nyanyikan saat berbaris adalah dalam rangka terima kasih kepada sang Pemimpin Besar kami.”

Ada 500 siswa di tempat itu—berpakaian rapi dalam setelan jas hitam, kemeja putih, dasi merah dan hitam, topi pet PDH, dengan tas di sisi mereka. Mereka semua dipilih rezim Kim Jong-un untuk menerima pendidikan Barat.

Tujuan resmi universitas ini adalah untuk membekali mereka dengan keterampilan membantu memodernisasi negara miskin dan terlibat dengan masyarakat internasional.

Semua kelas dalam bahasa Inggris dan banyak dari pengajarnya berasal dari Amerika. Ini luar biasa karena Korea Utara telah mengisolasi diri dari dunia luar selama puluhan tahun dan AS adalah musuh yang dibenci.

Setelah 18 bulan negosiasi, kami diberi akses unik untuk melihat kegiatan siswa—meskipun kami terus-menerus dipantau. Para siswa menjelaskan mereka menyukai Amerika—tetapi tidak untuk Pemerintah AS.

“Tentu saja pada awalnya kami gugup, tapi kami sekarang percaya bahwa rakyat Amerika berbeda dengan AS,” kata seorang mahasiswa. “Kami ingin membuat hubungan baik dengan semua negara,” yang lain menambahkan.

Pendiri dan presiden universitas tersebut adalah Dr James Chin-Kyung Kim. Pengusaha Kristen Korea-Amerika (78 tahun) yang diundang oleh rezim untuk membangun universitas berdasarkan perguruan tinggi serupa yang telah ia buka di Cina utara.

Kim mengumpulkan sekitar £  20 juta (sekitar Rp 398 miliar)  dari badan amal Kristen Amerika dan Korea Selatan.

“Saya banyak berterima kasih pada pemerintah ini—mereka menerima saya sepenuhnya. Mereka percaya kepada saya dan telah memberikan saya semua otoritas untuk mengoperasikan sekolah-sekolah ini. Anda tidak percaya kan

Sulit untuk percaya—kelompok hak asasi manusia mengatakan warga Korea Utara mengamalkan kehidupan Kristen, dianiaya.

Di dalam setiap kelas, potret diktator brutal Korea Utara dengan bangga digantung di atas papan tulis.

Dosen Colin McCulloch memberikan waktunya secara gratis. Sedangkan, 40 dosen lain disponsori oleh badan amal Kristen. McCulloch telah pindah dari Yorkshire untuk mengajar bisnis bagi kaum masa depan elite rezim tersebut.

Dia membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok dan memberi tahu mereka untuk membentuk perusahaan fantasi mereka sendiri dan menyusun proyeksi keuntungan mereka.

Di negara tempat pasokan semua barang dikendalikan oleh rezim, konsep pasar bebas baru kepada siswa.

“Saya yakin para pemimpin dan pemerintah di sini mengakui mereka perlu untuk berhubungan dengan dunia luar,” kata McCulloch. “Tidak mungkin menjalankan perekonomian yang benar-benar tertutup di era modern ini.”

Dosen asing universitas harus menghadapi propaganda seumur hidup dan kondisi—serta isolasi dari seluruh dunia, seperti yang kami temukan ketika Erin Fink, dari Amerika, mengajak kami untuk mengambil bagian dalam kelas bahasa Inggris.

“Ini akan baik bagi kalian untuk mendengarkan orang-orang ini karena aksen mereka sangat berbeda dengan aksen saya—mereka berbicara bahasa Inggris British,” dia menjelaskan kepada mahasiswa tahun pertama tentang kami.

Para mahasiswa itu memberi tahu kami bahwa mereka menggemari kelompok vokal gadis Korea Utara, disebut Moranbong Music Band, salah satu alat propaganda terbaru Kim Jong-un.

Ketika menyebutkan Michael Jackson, kami mendapati ruangan yang penuh dengan wajah kosong. Kami coba lagi. “Angkat tangan Anda jika Anda pernah mendengar tentang Michael Jackson.” Tidak satu tangan naik.

Anda mungkin berpikir siswa-siswa akan mengetahui tentang Michael Jackson dari Internet. Universitas ini menyediakan akses Internet, sesuatu yang tidak pernah dijumpai di perguruan tinggi lain di Korea Utara.

Tapi di ruang komputer, semua akses internet disensor. Benar-benar tidak ada email, tidak ada media sosial, dan tidak ada berita internasional.

Di Korea Utara, hanya pengabdian mutlak kepada pemimpin tertinggi, dan pujian atas segala sesuatu yang berkaitan dengan Korea Utara yang diizinkan. Menurut kelompok hak asasi manusia, pengabdian yang merupakan hasil dari pengkondisian sejak lahir—dan takut atas eksekusi atau penjara di kamp kerja paksa, tidak manusiawi.

“Pertanyaan kuncinya adalah apakah universitas ini melatih mereka, para muda Korea, yang paling mungkin untuk mengubah negara dengan cara yang positif, atau mereka yang paling mungkin untuk mengabadikan rezim saat ini,” kata Greg Scarlatoiu anggota Komite untuk Hak Asasi Manusia di Korea Utara yang berpusat di Washington DC.

“Jika harga yang harus dibayar agar diizinkan membangun kehadiran di dalam Korea Utara mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan di negara itu, saya akan mengatakan harga itu terlalu tinggi.”

Lord Alton adalah pemimpin Kelompok Semua Partai Parlemen di Korea Utara dan merupakan pelindung dari universitas ini. Ia berharap percobaan bisa memulai perubahan yang lebih mendasar dan mengubah pola pikir generasi.

“Anda harus memulai suatu tempat. Ini bukan alasan untuk menurunkan standar, yang saya benar-benar menentang. Ini adalah bentuk keterlibatan dalam rangka berusaha mengubah keadaan.”

Tapi apakah para siswa benar-benar tertarik untuk merangkul perubahan? Bahkan selama percakapan dengan penjagaan ketat, jelas beberapa siswa tertarik untuk berhubungan dengan dunia luar.

"Kami belajar bahasa asing karena bahasa asing adalah ini adalah mata ilmuwan,” kata seorang sarjana. “Dan belajar bahasa adalah belajar budaya. Saya ingin lebih dari itu.” (bbc)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home