Loading...
EKONOMI
Penulis: Kartika Virgianti 01:16 WIB | Selasa, 17 September 2013

Koro, Alternatif Pengganti Kedelai yang Mulai Dilirik untuk Bisnis

Jenis-jenis koro (ki-ka) begog merah, begog putih, benguk rase, benguk tahun, gude, glinding. (Foto-foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koro, jenis biji-bijian potensial menggantikan kedele, dan bernilai bisnis. Titik Ekasasanti, dari komunitas wirausaha Gita Pertiwi, Wonogiri, salah mitra Global Environment Facility – Small Grant Program (GEF-SGP), mengelola sebuah program di bawah PBB untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang. Dia mengungkapkan bahwa harga pokok dari sebungkus keripik tempe yang ia buat seharga Rp.2.400, dan ia jual seharga Rp.5.000, di mana keuntungan pedagang hampir 100 persen.

“Maka dari itu ibu-ibu sampai anak muda di Wonogiri saat ini semakin banyak yang tertarik menekuni bisnis makanan olahan ini. Namun para orang tua tetap kami dorong untuk budidayanya,” kata wanita yang juga lulusan Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto ini.

Saat ini pemerintah Wonogiri dari Dinas Pertanian mendukung upaya ini dengan Program Rumah Produktif, di mana pemerintah mewajibkan warga menanam koro di pekarangan rumah, karena hal ini juga bisa menjadi sumber penghasilan mereka.

Lulusan sarjana peternakan ini juga menjelaskan, komunitas Gita Pertiwi memulai kegiatan ini sejak tahun 1991, tapi mulai intensifnya lebih kepada pelestarian keanekaragaman hayati baru tahun 2000. Tapi baru tiga tahun belakangan ini kegiatannya lebih kepada bisnis pasca panen.

Koro saat ini diolah bukan hanya untuk tempe, tapi juga bisa menjadi tepung, kue-kue kering. Titik mengungkapkan bahwa tepung yang dihasilkan dari koro ini cocok bagi anak berkebutuhan khusus, seperti autis, karena rantai karbonnya lebih pendek sehingga mudah diserap tubuh. Anak-anak autis seharusnya menghindari makanan yang mengandung glutein, tepung terigu biasa mengandung glutein yang lebih tinggi dibanding tepung koro.

Titik mengatakan kendalanya bahwa saat ini anggapan orang, koro merupakan makanan kelas dua, makanan desa, makanan orang miskin, maka untuk pemasarannya kami kerja sama dengan kelompok-kelompok konsumen pangan sehat yang terorganisir, dan melalui program GEF-SGP, kami berharap bisa membangun jaringan pemasaran melalui rekan-rekan di sini.

Pemilik usaha koro di Wonogiri punya cita-cita membangun pabrik yang bisa dimiliki oleh masyarakat, karena kebanyakan orang Wonogiri adalah perantau dan mempunyai toko di Jakarta, sehingga untuk pendistribusian produknya akan dilakukan sejalan dengan mobilitas mereka.

Sebelumnya satu bibit koro bisa menghasilkan seperempat kilogram, sekarang dengan lebih mengintensifkannya lagi, mereka bisa menghasilkan lebih dari satu kilogram. Lebih dari itu, panennya juga tidak hanya sekali, tapi lima hari sekali tanaman koro bisa dipanen.

Titik berharap hal ini bisa terwujud dalam dua tahun ini. Sehingga produk koro bukan hanya bisa dinikmati masyarakat Indonesia, tapi juga meng-global.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home