Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:29 WIB | Selasa, 11 Agustus 2015

Kurangi Angka Gangguan Jiwa di DIY, UGM Rintis Kader Keswa

Prof Subandi, Ph.D dalam acara program layanan kesehatan jiwa dengan melibatkan kader kesehatan jiwa (keswa), melalui kerja sama UGM dengan Harvard Medical School . (Foto: ugm.ac.id) di Fakultas Psikologi UGM, Senin (10/8).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Harvard Medical School, tengah mengembangkan program penguatan layanan kesehatan jiwa berbasis kearifan budaya, dengan melibatkan ribuan kader kesehatan jiwa (keswa), yang tersebar di lima lokasi puskesmas yang tersebar di empat kabupaten dan kota di Provinsi DIY.

Koordinator program Prof Subandi PhD, mengatakan, penguatan sistem layanan kesehatan jiwa yang berbasis puskesmas ini sebagai rintisan awal untuk menanggulangi para penyandang gangguan jiwa.

Seperti diketahui, Yogyakarta menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai daerah yang memiliki penyandang gangguan jiwa berat (skizofrenia).

Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2013, Yogyakarta memiliki sekitar 16.000 orang yang hidup dengan skizofrenia dengan prevalensi skizofrenia 4,6 per 1.000 penduduk.

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan, untuk menyelesaikan masalah kesehatan gangguan jiwa di DIY, pihaknya juga bekerja sama dengan berbagai profesi diantaranya psikiater, psikolog, dokter, perawat, kader dan keluarga.

Untuk penguatan kader keswa, pihaknya melibatkan kader kesehatan di lima puskesmas di setiap kabupaten dan kota yakni puskesmas Kalasan Sleman, Puskesma Kasihan 2 Bantul, Puskesmas Galur 2 Kulonprogo, Puskesmas Wonosari 2 Gunung Kidul, dan Puskesmas Kota Gede 1 Kota Yogyakarta.

Menurut Subandi, setiap puskesmas ini memiliki puluhan kader di setiap dusun, akan dilatih untuk mendeteksi dan menangani pasien yang memiliki gejala gangguan jiwa.

“Para kader ini bisa membantu para psikiater, dokter dan psikolog yang amat terbatas, sehingga penanganan kesehatan gangguan jiwa ini bisa terintegrasi dengan masyarakat,” kata Subandi ditemui di Fakultas Psikologi UGM, Senin (10/8).

Selama satu bulan, kata Subandi, para kader keswa ini akan dilatih untuk memahami perilaku pasien gangguan jiwa, mengetahui gejala yang nampak, metode penanganan, dan pemberian pertolongan pertama pada pasein gangguan jiwa.

Sehubungan dengan tingginya angka penderita gangguan jiwa berat di Yogyakarta, Subandi mengatakan, data tersebut mengindikasikan sistem pendataan kesehatan di Yogyakarta sudah berjalan dengan baik, sehingga mendeteksi jumlah penderita pasien gangguan jiwa.

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terkena gangguan jiwa, katanya, disebabkan mereka tidak mampu mensikapi dan mengatasi persoalan hidup dengan baik. “Banyak persoalan dan perubahan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat apabila tidak disikapi dengan baik bisa berisiko menimbulkan gangguan jiwa,” katanya.

Dikatakan Subandi, untuk mencegah gangguan jiwa, seseorang perlu memperkuat diri menghadapi setiap persoalan baik pribadi, keluarga, kantor, dan di masyarakat.

”Kehidupan kita akan selalu menghadapi semua itu, namun bagaimana mensikapi persolan itu, tidak membebani kita, tapi sebaliknya memperkuat pribadi kita,” katanya.

Kepala Bagian Psikiatri Fakultas  Psikologi UGM Dr. Mahar Agusni, SpKJ mengatakan, masyarakat menurutnya harus ambil bagian dalam layanan kesehatan pasien gangguan jiwa dan tidak sepenuhnya menyerahkan ke pemerintah. “Apalagi pasien setelah sembuh harusnya dikembalikan ke masyarakat bukan ditinggal di rumah sakit jiwa,” katanya.

Berdasarkan hasil penelitian, kata Agus, tingkat kesembuhan pasien gangguan jiwa di negara berkembang sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan dengan negara maju, meski di negara maju memiliki fasilitas dan sistem layanan kesehatan yang relative lebih baik.

Hal itu, dikarenakan di negara berkembang memiliki kateristik dan budaya kearifan lokal yang mendukung tingkat kesembuhan .

 “Ada variabel karakteristik masyarakat kita dan budaya kearifan lokal, kadang kita sering berpikir (pengananan kesehatan) dengan cara barat, tapi yang dihadapi pasien dengan cara berpikir dan berperilaku orang timur” katanya

Mahar mencontohkan, kebiasaan menjenguk pasien di rumah sakit atau datang berkunjung ke rumah tetangga yang sedang sakit bisa mendorong tingkat kesembuhan seseorang.

“Masyarakat kita memperhatikan kerabatnya yang sakit dengan membawa buah tangan ataupun bantuan berupa uang,” katanya.

Meski begitu, Mahar menilai pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa justru sering mengalami stigmatisasi di tengah masyarakat.

“Kita mudah memberikan label sakit jiwa, padahal label itu susah dihapus di sepanjang hidup si pasien. Tidak heran banyak keluarga pasien lebih memilih datang ke dukun, karena ada destigmatisasi karena dukun akan mengatakan hanya kena ‘guna-guna’,” katanya.

Menurut Mahar perlu ada pemahaman dan pengetahuan yang sebaiknya ditularkan ke masyarakat  untuk selalu memberikan dukungan pada pasien dan keluarga pasien gangguan jiwa berat. (ugm.ac.id)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home