Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 10:56 WIB | Senin, 01 Juli 2013

Lapas Cebongan: Penggunaan Teleconference Menguji Komitmen Independensi Pengadilan Militer

Lapas Cebongan (Foto id.wikipedia.org)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Proses pemeriksaan saksi-saksi merupakan tahapan kunci dalam proses peradilan karena akan menguji fakta-fakta yang diajukan jaksa penuntut umum atau oditur militer, dan yang paling utama mengungkapkan kebenaran materiil tentang kejahatan yang terjadi.

Hal itu dinyatakan pimpinan 11 lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Pemantau Peradilan Militer  (KRPPM), dalam pernyataan pers di Yogyakarta, Minggu (30/6). Pernyataan itu dalam kaITAN menyikapi Pengadilan Militer Militer II-11 Yogyakarta yang akan memeriksa saksi-saksi dalam kasus penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan (Lapas Cebongan). Sidang lanjutan akan berlangsuing pada hari Selasa (2/7) besok.

Keterangan saksi-saksi menjadi bagian penting bagi jaksa penuntut umum atau oditur militer untuk melakukan penuntutan dan hakim dalam memutuskan perkara. Namun, terdapat fakta bahwa para saksi masih mengalami trauma dan ketakutan untuk bersaksi di muka persidangan. Mereka akan berhadapan dengan para terdakwa, dan mungkin penasihat hukum yang akan mengajukan pertanyaan secara langsung berhadap-hadapan.

Bukti-bukti tentang kajian psikologis para saksi juga menunjukkan bahwa mereka memang dalam situasi tidak berani bersaksi secara langsung di muka pengadilan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selama ini juga mengajukan usulan bahwa para saksi sebaiknya diperiksa melalui media teleconference atau video conference.

Pemantauan Koalisi Rakyat Pemantau Peradilan Militer (KRPPM) menunjukkan situasi persidangan akan mempengaruhi psikologis para saksi dalam memberikan keterangan, mempengaruhi seberapa besar saksi akan bebas dalam memberikan keterangan, termasuk misalnya mengonfirmasi para terdakwa bahwa mereka adalah pihak-pihak telah melakukan atau ikut serta dalam penyerangan di LP Cebongan.

Trauma Para Saksi

Dalam sidang pertama, terdapat kelompok-kelompok yang menghadiri persidangan dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak patut dan intimidatif, misalnya perkataan kasar terhadap pihak lain yang memantau persidangan. Situasi itu  jelas akan mempengaruhi para saksi dalam memberikan keterangan dan menjauhkan persidangan militer ini dari proses persidangan yang independen, terbuka, dan adil.

Komitmen Kementerian Pertahanan maupun petinggi-petinggi TNI terhadap kasus ini yang menyatakan bahwa pengadilan akan transparan dan terbuka, dan berdasarkan pada prinsip-prinsip fair trial berada dalam ujian. Komitmen ini harus ditunjukkan dengan mendukung penuh berbagai upaya untuk menghadirkan kebenaran materiil, dan apa yang sesungguhnya terjadi dalam penyerangan terhadap Lapas Cebongan.

Saat ini, kekuasaan untuk menentukan digunakannya pemeriksaan menggunakan teleconfence berada ditangan para hakim. Akan tetapi kekuasaan ini tentunya tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang, karena adanya hak dari para saksi atau saksi korban untuk diperiksa sebagai saksi dengan sarana elektronik  dengan didampingi pejabat yang berwenang. Hal ini diatur oleh pasal 9 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, terdapat ketentuan bahwa LPSK sebagai lembaga yang memberikan perlindungan saksi dan korban dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan tersebut instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 36 UU tersebut.

Para saksi yang diusulkan LPSK diperiksa dengan menggunakan teleconference adalah saksi-saksi yang berada dalam perlindungan LPSK, sehingga rekomendasi LPSK merupakan keputusan yang seharusnya mengikat atau ditaati instansi lainnya, dalam hal ini pengadilan. Penggunaan sarana elektonika ini juga bukan merupakan hal baru, artinya ada sejumlah persidangan lain yang menggunakan teleconference, dan bisa dikatakan telah lazim digunakan.

Diatur oleh UU

Melihat situasi objektif di persidangan, serta berangkat dari perintah undang-undang dan rekomendasi LPSK, semestinya tidak ada alasan bagi majelis hakim pengadilan militer untuk menolak penggunaan sarana elektronika dalam pemeriksaan para saksi.

Penolakan penggunaan sarana teleconference, selain akan bertentangan dengan Undang-undang, justru akan menambah kecurigaan publik bahwa pengadilan militer akan berjalan dengan tidak transparan, independen dan adil, atau ada kehendak untuk menutupi sejumlah fakta-fakta yang akan muncul dari keterangan para saksi.

Pengadilan militer dahulu dikritik sebagai pengadilan yang tidak cukup terbuka dan independen, karena aktor-aktor badan peradilannya dari aparat militer sendiri, yang dahulu tidak bisa dilepaskan dari jargon “kesatuan komando” atau “unity of command”, kata koalisi tersebut.

Dalam konteks saat ini, dengan berubahnya perundang-undangan tentang kekuasan kehakiman yang mandiri, pengadilan militer harus menjauhkan diri dari kesan adanya “unity of command” tersebut. Salah satu caranya dengan memberikan kesempatan para saksi guna menyampaikan fakta sebenar-benarnya, seterang-terangnya, dalam suasana yang nyaman tanpa intimidasi dan tekanan.

Dalam konteks pencapaian keadilan, pengungkapan kebenaran tentang fakta-fakta kejahatan yang terjadi haruslah menjadi prioritas utama pengadilan. Hal ini penting untuk semua pihak, termasuk jaksa atau oditur untuk membuktikan dakwaannya. Bagi terdakwa dan penasehat hukum untuk melakukan pembelaan, dan hakim untuk mendapatkan kebenaran materiil dari kejahatan yang terjadi, sehingga bisa memberikan keputusan secara adil.

Namun, yang juga penting dari proses yang terbuka dan independen ini adalah bagi korban dan keluarganya. Mereka mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran (the rights to know the truth) tentang peristiwa yang terjadi atau menimpa keluarga mereka. Hak untuk mengetahui kebenaran ini, sama pentingnya dengan hak-hak korban kejahatan lainnya, yakni hak untuk mendapatkan keadilan (rights to justice) dan hak untuk pemulihan (rights to reparations).

KRPM menilai Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta atas kasus Lapas Cebongan Selasa besok adalah saat menguji bersama komitmen Pengadilan Militer untuk bersikap independen, terbuka dan adil.

KRPM merupakan gabungan pelbagai organisasi mulai dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Fisip UAJY), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Indonesian Court Monitoring (ICM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Jaringan Pemantau Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta (JPP DIY), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Imparsial, dan Koalisi Perempuan Indonesia).


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home