Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 01:56 WIB | Kamis, 19 Maret 2015

Lee Kuan Yew: Saya Bukan Ateis

Lee Kuan Yew Lee (Foto: themalaymailonline.com)

SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Perdana Menteri Singapura dan kini tengah dalam kondisi sangat kritis, Lee Kuan Yew, pernah  mengakui dirinya tidak terlalu percaya adanya Tuhan. Namun, pada saat yang sama ia juga mengatakan menghargai dan tidak akan menertawakan mereka yang beriman pada Tuhan.

“Saya tidak akan menyebut diri saya Ateis. Saya tidak menolak tetapi juga tidak menerima adanya Tuhan,” kata dia, dalam buku biografinya yang dipublikasikan pada 6 Agustus 2013, sebulan menjelang ia berusia 90 tahun.

“Maka dari itu saya tidak menertawakan orang yang percaya pada Tuhan. Tetapi saya pada dasarnya tidak percaya pada Tuhan, tetapi tidak juga menolak bahwa mungkin Tuhan ada,” tulis dia, dalam buku setebal 400 halaman berjudul One Man's View of the World, itu, sebagaimana dilaporkan oleh AFP.

Hal ihwal bagaimana hidup dan pandangan pribadi mantan PM Singapura yang pernah berkuasa selama tiga dekade itu kini menjadi menarik perhatian seiring dengan kondisi kritis kesehatannya. Dikenal sebagai Bapak Bangsa Singapura, Lee merupakan tokoh sentral di balik keberhasilan Singapura berubah dari desa nelayan menjadi pusat keuangan dan industri berteknologi tinggi. Dan, orang mencari inspirasi dari capaian-capaiannya bersama negaranya.

Kendati Lee mengakui tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan bahkan cenderung tidak percaya pada Tuhan, ia memiliki keyakinan penuh tentang kekuatan moral dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Dalam sebuah wawancara dengan Fareed Zakaria untuk Foreign Affairs pada edisi Maret/April 1994, Lee Kuan Yew antara lain mengeritik erosi moral yang terjadi di negara maju, khususnya Amerika Serikat, karena sistem liberal yang dianut oleh negara itu.

Ketika ditanya, apa yang salah pada negara Amerika Serikat, yang sebelumnya menjadi idola Lee, ia menjawab, “Saya menduga bahwa itu memiliki banyak hubungannya dengan erosi dasar-dasar moral masyarakat dan penurunan tanggung jawab pribadi,” kata dia.

“Paham Liberal, tradisi intelektual yang berkembang setelah Perang Dunia II, menyatakan bahwa manusia telah tiba di negara yang sempurna ini di mana semua orang akan lebih baik jika mereka diizinkan untuk melakukan hal apa saja yang mereka inginkan dan membiarkannya  berkembang. Hal ini tidak berhasil, dan saya ragu apakah itu akan berhasil,” kata Lee.

“Dasar-dasar tertentu tentang sifat manusia tidak berubah. Manusia membutuhkan pengertian moral tertentu, yaitu tentang benar dan salah. Ada hal hal tertentu yang disebut jahat, dan itu bukan terjadi karena menjadi korban dari masyarakat. Manusia memang jahat, cenderung melakukan hal-hal yang jahat, dan manusia  harus berhenti dari melakukannya. Barat telah meninggalkan dasar-dasar etis bagi masyarakat, mereka percaya bahwa semua masalah dapat dipecahkan oleh pemerintahan yang baik, yang kita di Timur tidak pernah percaya bahwa itu mungkin.”

Kepemimpinan Lee menjadi terkenal, bukan saja karena visinya tentang Singapura, tetapi juga  keberhasilannya mendisiplinkan dirinya sendiri yang kemudian dia terapkan  mendisiplinkan rakyat Singapura.  Di masa pemerintahannya, Lee menerapkan denda dalam menegakkan hidup tertib secara publik. Di tangannya, Singapura  sering dijuluki sebagai negara denda, karena dimana-mana terdapat larangan untuk tidak membuang sampah, bahkan larangan mengunyah permen di fasilitas transportasi umum.

Pada tahun 2011  Lee pensiun dari dunia politik. Di masa pensiunnya, ia menyoroti  perubahan gaya hidup warga Singapura. Ia antara lain prihatin dengan merosotnya populasi, padahal pemerintah sudah memberi  insentif moneter untuk mendorong meningkatnya jumlah penduduk. Tapi ia melihat insentif itu hanya memberi dampak yang kecil.

Tingkat kelahiran di Singapura yang rendah membuat Singapura terbuka bagi imigran yang kini mencapai sepertiga dari populasi negara pulau itu. Kebijakan ini dikritik oleh warga setempat dan Singapura kini memperketat lagi arus imigran ke negara itu.

Dengan segala keberhasilan dan pencapaian Lee Kuan Yew yang barangkali masih akan sulit dicapai oleh penerusnya, tidak mengherankan bila masyarakat Singapura seolah belum dapat membayangkan bagaimana kehilangan Lee, apabila itu benar-benar terjadi.

"Seperti halnya semua orang besar yang membangun negara-negara di Asia Tenggara, Lee Kuan Yew hadir selama ia masih bernafas," kata Ernes Z. Bower, ahli Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies.  "Singapura sekarang mencari bentuk perubahan dan evolusi," kata Bower, "namun mereka tampaknya tidak yakin. Ada sedikit rasa takut dan kegelisahan tentang semua ini," kata dia, seperti dikutip The Washington Post.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home