Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 22:26 WIB | Sabtu, 04 Januari 2014

Logika pada Kenaikan Harga Elpiji

SATUHARAPAN.COM – “Selamat Tahun Baru 2014, kami Kirim Hadiah Kenaikan Harga Elpiji.” Demikian sebuah ucapan selamat memasuki tahun 2014 dari seorang sahabat yang merupakan  gabungan perasaan dengan nada sinis; antara syukur telah melewati tahun 2013 dan harapan di tahun 2014 yang diawali dengan kemuraman.

Kenaikan harga Elpiji dari Rp 70.200 (sejak 2009) untuk setiap tabung ukuran 12 kilogram menjadi Rp 117.708 diketahui warga ketika mereka membeli di pengecer bahan bakar gas itu, dan bukan dari pengumuman resmi pemerintah. Warga terkejut karena kenaikannya begitu besar tanpa pemberitahuan resmi. Namun harga di konsumen di Jawa bisa sampai Rp 130 per tabung

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan kenaikan itu adalah keputusan korporasi (Pertamina)  dan dengan pertimbangan bisnis semata. Sebab, elpiji kemasan tabung 12 kilogram bukan gas yang dijual dengan subsidi pemerintah.

Pihak Pertamina seperti dikemukakan Ali Mudakir, Wakil Presiden Komunikasi Perusahaan, menyebutkan bahwa kenaikan itu dilakukan karena harga sudah tidak sesuai dengan biaya produksi, dan perusahaan negara itu tekor sekitar  Rp 6 triliun per tahun. Dan selama ini pertamina rugi lebih dari Rp 20 triliun.

Pertimbangan Bisnis?

Kasus ini adalah bagian dari sederet kasus di mana negara dikelola dengan sembarangan. Para pemegang amanat negara untuk menjalankan kekuasaan negara telah mengabaikan hal ini. Kasus ini hanya contoh dan merupakan sumber dari banyak masalah di negeri ini. Jangankan menyelesaikan masalah, mencegah munculnya masalah baru pun nyaris tanpa kemampuan.

Bagaimana bisa presiden menyebutkan pertimbangan kenaikan harga elpiji 12 kilogram sebagai kepentingan bisnis semata? Hal itu tidak membuatnya bisa mencuci tangan, seolah-olah tidak tidak terlibat. Bukankah gas adalah komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Bukankah pemerintah ini yang mendorong rakyat hingga tanpa pilihan untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar dan meninggalkan minyak tanah?

Pemegang kekuasaan negara tidak bisa lepas tangan dengan kepentingan rakyat banyak dan untuk mengelola gas dari bumi Nusantara sebagai komoditas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pertimbangannya adalah kepentingankemakmurannrakyat, bukan petimbangan bisnis. Ini pernyataan naif.

Di media memang muncul pernyataan dari pihak Pertamina meskipun tidak dengan data yang jelas. Bahwa yang ada di tabung 12 kilogram adalah gas dari impor. Rakyat lalu mempertanyakan: apa artinya  selama ini disebutkan bahwa Indonesia berlimpah gas? Setelah Indonesia menjadi pengimpor minyak, migrasi menggunakan gas adalah karena alasan  Indonesia memiliki cadangan gas yang besar.

Pelecehan Logika

Kemudian muncul argumentasi bahwa gas dari bumi Indonesia diekspor dan yang dijual di dalam negeri dari impor, sehingga harus mengikuti harga internasional.

Sekali lagi, dan ini soal logika umum yang sederhana. Bagaimana bisa harus mengimpor sementara gas milik sendiri dijual keluar? Tidak ada logika sehat yang membenarkan kebijakan yang tidak bijak ini, kecuali ini cerminan manajemen ekonomi rente. Keputusan yang menghidupi para broker untuk mendapatkan rente dari transaksi yang dibuat sebanyak mungkin.

Tentang Pertamina yang rugi puluhan triliun bertahun-tahun dari elpiji ini, juga sebuah pernyataan yang melecehkan logika. Banyak pihak dalam beberapa hari ini yang mempertanyakan efisiensi di Pertamina. Namun yang penting dipertanyakan adalah bagaimana kerugian itu dibayas selama ini? Siapa yang membayarkan untuk kerugian selama ini? Banyak warga dalam dialog di media yang  bertanya siapa yang nombokin kerugian itu?

Hadiah tahun baru dari Pertamina ini harus dimaknai bahwa selama ini negara banyak dikelola dengan logika yang naif. Banyak catatan di media yang menyebutkan hal serupa untuk hal-hal yang lain.

Saatnya hal itu diakhiri. Sebab, hal ini sudah mencerminkan kondisi yang sangat buruk. Matinya logika biasanya meruap setelah nurani dikubur.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home