Loading...
BUDAYA
Penulis: Prasasta Widiadi 21:25 WIB | Sabtu, 13 Desember 2014

Lompat Batu: Simbol Pariwisata Nias

Lompat Batu: Simbol Pariwisata Nias
Atraksi lompat batu dipertontonkan pada Pembukaan Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di Gunungsitoli, Nias. (Foto-foto: Prasasta).
Lompat Batu: Simbol Pariwisata Nias
Atraksi lompat batu dipertontonkan pada Pembukaan Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di Gunungsitoli, Nias.
Lompat Batu: Simbol Pariwisata Nias
Para pelompat batu berfoto dengan para pengunjung pantai yang memadati pembukaan Sidang Raya XVI PGI.

SATUHARAPAN.COM – Membayangkan kata “lompat batu” maka di pikiran kita adalah Kepulauan Nias, salah satu wilayah pulau di Indonesia yang ada di sebelah barat Pulau Sumatera, dan  tepatnya di Provinsi Sumatera Utara.

Wilayah ini terdiri atas daratan yang tidak terlalu luas, dan menurut PVMBG (Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi) wilayah ini termasuk wilayah yang sering terkena dampak gempa bumi. Penduduk Nias tidak hanya terdiri dari suku Nias, tetapi ada juga warga pendatang seperti orang Padang, orang Jawa Barat, dan ada juga beberapa warga Jakarta yang senang berlibur di pusat kota Gunungsitoli.  

Pemandangan yang tampak nyata membuat banyak orang tersihir dan terpukau yakni Pantai Siwalaubanua di Kota Gunungsitoli, tempat ini tidak hanya dinikmati pemandangan alamnya namun saat Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) lalu tempat ini merupakan saksi bisu megahnya pesta iman umat Kristiani tersebut, dan warga Nias boleh berbangga akan hal ini karena wakil presiden Jusuf Kalla menyambut baik penyelenggaraan Sidang Raya saat itu dan akan menyampaikan aspirasi warga Nias yang ingin memekarkan diri menjadi provinsi kepada Presiden Joko Widodo. 

Nias kini tengah bangkit menyusun segala hal, kebangkitan dalam berbagai sektor infrastruktur. Bencana alam yang terjadi beberapa tahun yang lalu sempat membuat semua hancur dan kondisi psikologis masyarakat sulit dibangkitkan bencana yang berturut-turut terjadi yakni pada 26 Desember 2004, gempa bumi Samudra Hindia 2004 terjadi di wilayah pantai barat pulau ini sehingga memunculkan tsunami setinggi 10 meter di daerah Kecamatan Sirombu dan Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat. Korban jiwa akibat insiden ini berjumlah 122 jiwa. Dan, ratusan keluarga kehilangan rumah.

Pada 28 Maret 2005, pulau ini kembali diguncang gempa bumi, tadinya diyakini sebagai gempa susulan setelah insiden Desember 2004, namun kini peristiwa tersebut merupakan gempa bumi terkuat kedua di dunia sejak 1965. Sedikitnya 638 orang dilaporkan tewas, serta ratusan bangunan hancur.

Akan tetapi faktor sosial budaya masih hinggap di masyarakat Nias. Salah satu sektor penunjang budaya yang dapat dilihat yakni pariwisata dimana di dalamnya salah satu elemen penting adalah lompat batu.

Dalam artikel inspirasi satuharapan.com yang ditulis Esther Telaumbanua pada 2013 menyebut lompat  batu merupakan jejak tradisi yang ada di wilayah Kepulauan tersebut dan terdapat dari jaman megalitikum. Di Nias disebut ”hombo batu”, pelompatnya disebut ”fahombo batu”. Dahulu lompat batu merupakan bentuk inisiasi dalam menguji ketangkasan fisik dan kesiapan mental pemuda Nias menjelang dewasa.

“Di masa lalu, keluarga dan kerabat akan merasa bangga bila seorang pemuda dapat melakukan fahombo batu dengan sempurna. Sebab sang pemuda dianggap telah mampu menjadi prajurit desa untuk menjaga desa,” tulis Esther dalam salah satu artikelnya di satuharapan.com.

Sumber lain menyebut, di wilayah selatan Kepulauan Nias tepatnya di daerah Teluk Dalam (Kabupaten Nias Selatan) disebut-sebut sebagai daerah asal mula tradisi ini yakni sebagai ajang untuk menguji fisik dan mental anak-anak muda di Nias sebelum memasuki usia dewasa.

Setiap pria dewasa yang ikut perang harus lulus ujian lompat batu terlebih dahulu. Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga masih dikatikan dengan kepercayaan pada masa itu. Seseorang yang baru belajar melompat batu, terlebih dahulu memohon restu dan doa kepada roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal dan harus memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah.

Atraksi lompat batu ini dapat disaksikan di desa Bawomataluo, yang terletak di wilayah Kabupaten Nias Selatan, apabila Anda berada di Kota Gunungsitoli maka dan Anda dapat bepergian menggunakan kendaraan pribadi atau carteran.  

Bawonataluo adalah sebuah perkampungan tradisional yang sudah berumur ratusan tahun yang terletak di atas puncak bukit yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Nias Selatan. Daerah ini dapat dijangkau selama 2,5-3 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor dari pusat Kota Gunungsitoli.

Pertunjukan budaya ini bukannya tanpa rintangan dalam menunjang budaya Nias, karena ada saran dari salah satu wartawan, Alex Japalatu yang mengatakan kepada satuharapan.com beberapa waktu lalu tentang lompat batu di Kepulauan Nias.

“Persoalannya sejak dari kita parkir mobil kita sudah didatangi banyak penduduk sekitar yang menawarkan dengan sedikit intimidasi dengan terus menerus menjejeri kita dan menawarkan kepada kita ‘pak kalau lompat batu di sini dua orang 300 ribu’ nah itu,” kata Alex kepada satuharapan.com, Rabu (12/11) di Gunungsitoli, Nias.

Wartawan yang juga ikut meliput Sidang Raya XVI PGI ini memberi saran di kawasan tempat berlangsungnya atraksi lompat batu seharusnya ada tiket masuk.

“Harusnya Dinas Pariwisata (Kabupaten Nias Selatan) memikirkan membuat tiket masuk, begitu sekali masuk 50.000 gitu misalnya,” Alex memberi saran.

Alex mengatakan pentingnya seluruh kabupaten di Kepulauan Nias mengatur pariwisata, agar turis yang berkunjung ke Nias dapat memberi kesan dan kenangan yang baik bahwa Nias adalah pulau yang unggul dalam pariwisata dan patut dikunjungi.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home