Loading...
RELIGI
Penulis: Kartika Virgianti 23:59 WIB | Rabu, 11 Juni 2014

LSM Sebut SBY Abai Urus Kebebasan Beragama

(dari kiri ke kanan) Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin, perwakilan Ahmadiyah, GKI Yasmin, Bona Sigalingging, Agama Sunda Wiwitan, Euis, PGI, Pdt. Hendri Lokra, The Wahid Institute, Muhamad Subhi, dan Agama Syiah, Emilia Renita Az. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perwakilan dari Human Rights Working Group, (HRWG) Indonesia, The Wahid Institute, SETARA Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sepakat menyebut kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gagal dan abai menyelesaikan konflik terkait kebebasan beragama bagi kelompok minoritas.

Pernyataan tersebut seperti disampaikan dalam konferensi pers Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Kantor HRWG, Gedung Jiwasraya, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/6). Wakil Direktur HRWG, Choirul Anam berpendapat, SBY untuk saat ini masih punya waktu sekitar tiga bulan masa kepemimpinannya, dan dalam satu hari saja sebenarnya sudah bisa menyelesaikan banyak hal. 

“Eksekusi pembukaan gerbang GKI Yasmin itu tidak membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Tinggal datang ke GKI Yasmin, atau perintahkan saja Kapolres setempat untuk buka, selesai persoalan, tidak berlarut-larut,” cetus lelaki yang disapa Anam itu.  

“Satu jam pertama buka GKI Yasmin misalkan, jam berikutnya membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pelarangan Ahmadiyah, panggil menteri agama, buat Perpu-nya untuk membereskan yang isinya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tutur dia mengumpamakan.

Pasalnya, sudah banyak sekali beredar pesan singkat berbau SARA (suku, agama, dan ras) yang sangat mengadu domba kelompok-kelompok berbasis agama hampir di seluruh Indonesia. Akibatnya, orang jadi saling benci gara-gara identitas agamanya.

Kepala Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Pendeta. Hendri Lokra mengaku menemukan beberapa catatan kritis, terutama ada dua hal yang terjadi selama ini. Pertama, terjadi pembatasan terhadap agama, yaitu hanya lima. Padahal sebelumnya di Indonesia sudah ada agama peninggalan nenek moyang, dan lima agama ini baru datang pada abad tertentu, tetapi dengan seenaknya menstigma dan tidak memberikan mereka ruang untuk hidup.

Kedua, negara tidak boleh berteologi, karena jika berteologi, dikhawatirkan akan terjadi pemurnian agama. Jika itu terjadi, dikhawatirkan akan terjadi pemberangusan terhadap agama-agama yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.

Pandangan PBB Lebih Kritis

Peneliti The Wahid Institute, Muhammad Subhi Azhari mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di dunia internasional merupakan konsekuensi logis dari apa yang terjadi di dalam negeri. Berbeda dari sidang-sidang sebelumnya, dunia internasional kali ini sangat kritis dalam memandang Indonesia.

Perlu diketahui, Indonesia telah mendapatkan empat rapor merah di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2011 sampai sekarang. Pertama saat Sidang Universal Periodic Review (UPR), pada 2012. Kedua, dalam Sidang Review Hak sipil Politik 2012. Ketiga, di Komite HAM PBB untuk Hak Sosial dan Budaya.

Dan terakhir, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berkumpul Secara Damai dan Berorganisasi, Mr. Maina Kiai melaporkan situasi diskriminasi yang dialami kelompok agama minoritas di Indonesia, yang dibacakan dalam Sidang Dewan HAM PBB pada tanggal 10-27 Juni 2014.

“Pemerintah Indonesia selama ini jelas abai dan absen dalam melaksanakan konstitusi. Kasus Ahmadiyah di pengungsian Transito, kasus Syiah di Sampang Madura, kasus GKI Yasmin, Filadelfia, itu semua menggugah dunia internasional untuk campur tangan,” tegas Subhi.

Menurut Subhi, PBB ada beberapa alasan mengapa PBB campur tangan. Pertama, karena Indonesia adalah negara anggota PBB, maka PBB berhak mengkritik dan memberikan masukan. Kedua, korban di Indonesia tidak pernah diam, mereka selalu menyampaikan pandangan secara terbuka terhadap apa yang mereka alami. Dan tentu saja LSM-LSM pembela HAM yang berkomitmen mendampingi korban. Itu semua yang membuat dunia internasional bersuara kepada pemerintah Indonesia.

Subhi mengkritik banyaknya pejabat-pejabat negara Indonesia yang menggugat proses advokasi internasional itu, karena dianggap bisa mempermalukan Indonesia di mata internasional. Gugatan tersebut menurut dia menjadi bentuk impunitas atau pengabaian terhadap nasib korban.

“Apa yang dilakukan oleh korban maupun pendamping dianggap sebagai ancaman terhadap mereka sendiri (para pejabat pemerintah). Jadi tujuan mereka menggugat proses advokasi internasional itu dapat dengan jelas kita lihat,” ungkap Sobhi.

Namun proses advokasi internasional ini harus terus diupayakan lagi dengan lebih keras, karena ini merupakan secercah harapan dari kebuntuan di dalam negeri. Ini untuk menggugah pemerintah Indonesia, mau tidak mau harus membuka mata dan mengakui ada masalah di dalam negeri.

Indonesia Diarahkan jadi Negara Islam

Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos atau kerap disapa Choky menyampaikan pandangannya bahwa akir-akhir ini datang begitu banyak kelompok-kelompok intoleran yang mengadopsi pemikiran-pemikiran dari dunia luar. Arah politiknya jelas, bahwa mereka secara perlahan-lahan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. 

Kekerasan yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan relatif lebih lunak dari apa yang terjadi seperti di Suriah, Somalia, Pakistan, Sudan, Nigeria, karena di sana sampai terjadi pertumpahan darah.

Tetapi dunia internasional sebagaimana disampaikan PBB, sangat mengharapkan Indonesia menjadi sebuah model bagi pluralisme dan toleransi, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Selain itu, Islam di Indonesia dianggap cukup moderat dalam memberikan ruang keterbukaan bagi kepercayaan lainnya.

“PBB berharap Indonesia menjadi model kemajemukan, tetapi presiden bahkan selama ini kebanyakan diam,” kata Choky menyesalkan.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home