Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 08:38 WIB | Rabu, 01 Maret 2017

Manusia Itu Debu dan Abu

Allah ingin berdamai dengan manusia.
Rabu Abu (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Pada Hari Rabu ini setiap Kristen yang mengikuti ibadah Rabu Abu akan mendapatkan olesan abu di dahi mereka. Setiap Kristen diingatkan bahwa dirinya adalah debu. Olesan abu di dahi merupakan juga tanda pengakuan dosa manusia.

Pengakuan dosa di sini bukanlah tanpa alasan. Pertama, manusia itu memang debu dan abu. Manusia adalah makhluk lemah, ringkih, dan rentan laksana abu.

Sejatinya kisah Rabu Abu telah terjadi pada kisah kejatuhan manusia pertama—ketika Adam dan Hawa dengan sengaja memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Sesungghnya kisah Adam dan Hawa adalah kisah semua manusia. Kadang, sebagaimana Adam dan Hawa kita juga terpikat untuk melakukan apa yang kita pikir dan kita rasa benar.

Apa salahnya tahu yang baik dan jahat! Bukankah itu akan membuat kita menjadi lebih bijak? Apa salahnya menjadi bijak? Apa salahnya berpengetahuan? Ya, memang tidak ada salahnya! Tetapi, masalah manusia pertama ialah mereka melanggar kesepakatan bersama sejak awal penciptaan (Kej. 2:16-17).

Inilah salah satu bukti kedebuan dan keabuan manusia. Kita sering bertindak menurut apa yang kita rasa dan pikir benar, yang bisa membawa pada pelanggaran. Pengandalan akal dan rasa kadang membuat kita lupa bahwa akal budi adalah anugerah Tuhan. Lebih gawat lagi, jika manusia akhirnya merasa lebih pandai dan lebih peka ketimbang Tuhan.

Atau, ada yang beranggapan bahwa Tuhan pastilah memaklumi kesalahan manusia. Pemahaman macam begini kadang menjadi dasar untuk berbuat sesuka hati. Ini juga sesat pikir dan sesat rasa karena pandangan ini berujung pada meremehtemehkan Tuhan. Aneh rasanya, kita sengaja berbuat salah karena tahu Tuhan itu pengasih. Bukankah ini pula bukti keringkihan kita selaku manusia?

Kedua, Allah ingin berdamai dengan manusia. Allah ingin bersekutu kembali dengan manusia. Tak heran jika Paulus berkata: ”Terimalah uluran tangan Allah yang memungkinkan kalian berbaik dengan Dia.” (II Kor. 5:20b, BIMK)

Inilah kebenaran yang seharusnya memampukan kita mengakui dosa kita! Pengakuan dosa hanya akan terjadi kala orang sadar bahwa Allah bersedia menerima dirinya tanpa syarat. Banyak orang tak yakin adanya pengampunan sehingga mereka enggan mengakui dosanya. Jika tak ada kepastian pengampunan dosa, buat apa pula kita mengaku dosa?

Allah telah terlebih dahulu mengulurkan tangan-Nya. Persoalannya: apakah manusia mau pula mengulurkan tangannya? Jika manusia mau mengulurkan tangannya, maka manusia dan Allah bergandengan tangan. Itulah persekutuan sejati!

Dan itu dimulai kala kita, sebagaimana anjuran Nabi Yoel, mengoyakkan hati, dan bukan pakaian kita secara tulus, sepi ing pamrih. Ya, tulus, tanpa basa-basi!

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home