Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 05:57 WIB | Jumat, 04 Oktober 2013

Masalah Moralitas Semakin Parah

Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditangkap KPK, Rabu (2/10). (Foto; dok satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM – Penangkapan terhadap Akil Mochtar yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi adalah pertanda yang makin jelas terpuruknya penyelenggaraan negara di Indonesia, terutama dalam hal etika dan moralitas. Sebab, praktik korupsi dan suap di antara pejabat penyelenggara negara adalah bukti nyata rendahnya moral dan etika. Ini sumber utama sehingga bangsa kita terus dirundung masalah.

Penangkapan pada hari Rabu (2/10) malam itu juga terhadap anggota DPR, kandidat dan juga kepala daerah. Sebelumnya ada deretan panjang nama-nama anggota DPRD, DPR, bupati, wali kota, gubernur, pimpinan partai, dan menteri yang sedang menghadapi tuntutan hukum atau sudah divonis dalam perkara korupsi.

Hal ini makin nyata bahwa persoalan terbesar pada bangsa ini bukan yang utama pada sistem atau aturan, tetapi pada moralitas dan etika. Sebaik apapun aturan, tetapi dijalankan oleh pejabat yang moralitasnya buruk, aturan akan diselewengkan.

Kasus ini menegaskan jawaban atas pertanyaan tentang potret kondisi bangsa yang selama ini muncul. Mengapa yang melanggar aturan dibiarkan saja melanggar, bahkan yang dilanggar adalah konstitusi? Karena pejabat dengan moralitas rendah memanfaatkan kekacauan untuk kepentingannya sendiri.

Mengapa upaya untuk membangun ikatan kebangsaan yang lebih kuat justru diganggu oleh mereka yang duduk di jabatan penyelenggara negara? Karena keretakan dalam bangsa ini adalah celah bagi mereka yang berwatak kriminal. Mengapa korupsi terus terjadi? karena banyak kekuasaan diraih dengan cara-cara yang licik dan digunakan untuk tujuan yang kepentingan sendiri.

Kasus penangkapan Ketua MK adalah tragedi. Sebab, pada lembaga ini sengketa antar lembaga negara diputuskan, atau undang-undang dan peraturan di bawahnya bisa dianulir, serta sengketa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diputuskan.

Lembaga ini memiliki mandat yang besar dan penting, bahkan tidak ada banding atas apa yang diputuskan. Artinya, final dan berlaku seperti yang ditetapkan. Bisa diukur betapa besar kerusakan yang terjadi dalam kehidupan kenegaraan jika orang tidak bermoral dan beretika duduk di lembaga ini, bahkan menjadi ketuanya.

Masalah moral memang tidak akan selesai oleh dibuatnya aturan-aturan, apalagi orang berwatak kriminal yang menjalankan aturan tersebut. Kesigapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap pelaku kasus ini pun bukan jaminan moralitas akan membaik. Perbaikan sistem juga bukan jaminan terbangunnya moralitas yang baik.

Moralitas dibangun melalui keteladanan para tokoh, elite dan sumua yang ada di pusat kekuasaan, dan pusat kebudayaan. Dan sekarang ini adalah era Indonesia miskin keteladanan. Kita bahkan prihatin  menyaksikan upaya Gubernur DKI Jakarta membenahi Ibu kota dengan cara yang lebih baik juga dilawan oleh elite bangsa ini yang sarat kepentingan dan beroral rendah.

Bahkan juga sikap naif dan diskriminatif terhadap seorang lurah di Jakarta pun dibela secara buta oleh pejabat penyelenggara negara dan elite bangsa ini. Ini krisis moralitas. Oleh karena itu, masalah ini jangan hanya dibatasi pada kasus di MK, tetapi keseluruhan penyelenggara negara, di semua level.

Bangsa ini secara nyata memerlukan perbaikan moralitas dan etika. Ini jelas pernyataan yang menyakitkan, tetapi tak bisa dielakkan oleh kenyataan pahit dari hari ke hari yang dihadapai rakyat. Dan untuk itu diperlukan upaya yang mendasar, yang tidak bisa diserahkan kepada elite sekarang yang gagal dalam moralitas.

Harus ada upaya dari rakyat untuk menolak setiap figur yang buruk moralitasnya, dan memberi ruang lebih banyak bagi yang punya kredibilias untuk tampil sebagai pemimpin. Beri jalan lebih terbuka bagi yang moralitas dan etikanya baik, bukan atas dasar identitas yang sering menyesatkan. Ini pilihan tunggal atau kita membawa Indonesia pada era yang lebih tragis.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home