Loading...
SAINS
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 11:12 WIB | Senin, 30 Mei 2016

MCI Desak Pemerintah Optimalisasikan Payung Hukum untuk Guru

Ilustrasi: guru ketika mengajar di sekolah. (Foto: gresnews)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Agustinus Sucipto, peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), mendesak pemerintah dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memberi advokasi kepada guru yang ketika menjalankan tugasnya tersandung masalah hukum, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen.

“Advokasi ini penting agar jelas apakah kasus tersebut merupakan kategori pelanggaran etik, pelanggaran disiplin, atau pelanggaran hukum,” kata Agustinus, pada hari Senin (30/5), dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan memikul tanggung jawab untuk membentuk generasi muda bangsa ini.

“Menghadapi generasi muda yang makin melek teknologi dengan berbagai persoalan yang ada pada mereka, guru dalam proses mendidik mempunyai kewajiban memberi penghargaan (reward) bagi yang peserta didik yang dianggap baik, dan memberi hukuman (punishment) bagi yang melanggar, atau tidak sesuai dengan tujuan pendidikan,” ujar Agustinus.

Namun, dikatakan pula olehnya, dalam beberapa kasus punishment, guru justru harus berhadapan dengan jerat hukum pidana karena dianggap melangar UU Perlindungan Anak. Maraknya guru yang berurusan kasus pidana mengakibatkan guru menjadi takut untuk memberi hukuman. Ketakutan semacam ini bisa berakibat pada pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik.

Padahal, untuk mengatasi dekandensi moral generasi muda saat ini, menurut Agustinus, sangat tidak adil apabila orang tua melimpahkan seluruhnya pada institusi pendidikan formal.

"Perlu adanya paradigma baru bahwa pendidikan moralitas generasi muda menjadi tanggung jawab bersama. Selain sekolah sebagai institusi pendidikan formal, keluarga dan masyarakat juga harus bertanggung jawab dalam mendidik," kata peneliti yang pernah mendalami ilmu filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang itu.

Kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, pencabulan, narkoba, dan seks bebas dengan pelaku anak didik menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tidak jarang, institusi pendidikan dituding menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas bobroknya moralitas anak bangsa ini.

Dengan mudahnya institusi pendidikan dijadikan kambing hitam dan dinilai gagal mendidik generasi muda.

Ia berpendapat, keluarga menjadi tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak.

“Sayangnya, banyak orang tua justru menyerahkan pendidikan kepada sekolah, karena merasa sudah membayar uang sekolah. Padahal, proses pendidikan di sekolah hanya tujuh hingga delapan jam, sedangkan selebihnya bersama orangtua dan di masyarakat,” tuturnya.

Jadi, Agustinus mengatakan, perlu ada kerja sama yang sinergis antara orang tua dan sekolah dalam mendidik anak. Peserta didik yang bermasalah tak jarang karena hidup di keluarga yang bermasalah.

Ia pun mengaku prihatin dengan fakta bahwa UU Perlindungan Anak Nomer 23 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomer 35 Tahun 2014 belum disosialisasikan secara optimal ke sekolah sebagai institusi pendidikan dan guru sebagai pendidik.

"Banyak guru tidak memahami isi UU Perlindungan Anak dan implementasinya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa," ucap Agustinus.

Oleh sebab itu, ia mendesak sosialisasi serius UU Perlindungan Anak.

“Kini sangat diperlukan penjelasan, penjabaran, dan batasan yang jelas tentang makna kekerasan seperti terdapat dalam UU Nomer 35 Tahun 2014 Pasal 54, karena makna kekerasan sendiri multitafsir,” tutur Agustinus.

"Penafsiran makna kekerasan inilah yang sering digunakan orang tua untuk menyeret guru ke meja hijau. Membentak bisa saja dikategorikan kekerasan karena bisa menimbulkan kesengsaraan psikis," ia menambahkan.

Pada sisi lain, guru sendiri memang harus melek hukum sehingga dalam melaksanakan tugasnya tahu batasan dalam memberi hukuman serta bisa membela diri atau mencari jalan keluar saat berhadapan dengan masalah hukum.

"Lihat saja, untuk melindungi guru dan instansinya, sejumlah sekolah swasta kini justru sudah memiliki lawyer mumpuni, karena sering kali mereka dituntut ke pengadilan oleh orang tua, misalnya karena kasus anak tidak naik kelas," katanya.

Tentang Merapi Cultural Institute (MCI)

Merapi Cultural Institute (MCI) adalah lembaga yang bergerak pada kajian dan penelitian literasi yang secara khusus mengkontekstualisasikan cultural studies pada isu-isu konkret di masyarakat.

MCI memiliki visi mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan mottonya ialah “Dari Desa Mencerahkan Dunia”.

MCI bernaung di Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) yang terletak di lereng Gunung Merapi di Magelang, Jawa Tengah, dengan beranggotakan peneliti dan akademisi desa.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home