Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 12:53 WIB | Sabtu, 18 Januari 2014

Media Internasional Soroti Penyiksaan TKW Hong Kong

Erwiana Sulistyaningsih saat dibawa ke rumah sakit Sragen. (Foto dari Time)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Media internasional berbasis di Amerika Serikat (AS) menyoroti nasib tenaga kerja wanita asal Indonesia di Hong Kong.

Dalam artikel berjudul “Disiksa dan Dieksploitasi, TKW Indonesia adalah Budak Modern di Hong Kong”, Time mengisahkan pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia, Erwiana Sulistyaningsih, yang meninggalkan Hong Kong Jumat (10) pekan lalu. Dia meninggalkan mimpi buruk di belakangnya. Selama delapan bulan diduga ia dipukuli majikannya hingga cacat. Hal itu menyebabkan kondisi gadis berusia 23 tahun itu begitu buruk, nyaris tak bisa dikenali. Badan kurus, wajah bopeng dengan gigi tanggal. Kakinya, tersiram air panas, berwarna hitam dan memiliki luka terbuka.

Kasusnya adalah salah satu contoh penyiksaan yang dihadapi pekerja rumah tangga asing di Hong Kong. PRT asing telah menjadi pemandangan di mana-mana dalam kehidupan Hong Kong sejak 1970-an, ketika ekonomi kota mulai booming. Perempuan lokal memasuki angkatan kerja dalam skala besar dan mempekerjakan pekerja rumah tangga dari Filipina, dan kemudian Indonesia dan Thailand, untuk merawat rumah.

Setelah puluhan tahun bekerja keras di batas-batas anonim rumah bertingkat tinggi Hong Kong, para pembantu rumah tangga, sekarang berjumlah sekitar 300.000, kini membuat suara mereka terdengar lebih efektif. Mereka berkampanye untuk kondisi kerja yang lebih baik

Memang benar, perlindungan hukum di Hong Kong lebih baik daripada di Timur Tengah dan negara-negara Asia Timur lain yang merupakan pasar besar bagi pekerja rumah tangga asing, seperti, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Singapura.  Namun, pembantu di Hong Kong  tetap rentan dan sering tak berdaya jika menghadapi kasus seperti Erwiana.  

Survei yang dilakukan 2012 Mission for Migrant Workers menemukan 18 persen PRT migran di kota telah dilecehkan secara fisik.  PRT Indonesia, Kartika Puspitasari, menjadi begitu populer musim panas lalu, ketika penyiksaan selama dua tahun oleh pasangan majikan sadis terungkap ke publik.

Pengungkapan kasus Erwiana sekali lagi menjadi sorotan atas perlakuan orang Hong Kong terhadap PRT . Tertatih-tatih dari rumah, Erwiana membutuhkan bantuan teman sesama PRT begitu sampai di Bandara Internasional Hong Kong. Lima hari setelah tiba di Indonesia, dia masih di rumah sakit. Pamannya, Shomat, mengatakan kondisinya kini lebih baik.  “Kami terkejut dan kami sedih melihat dia dalam kondisi seperti itu,” katanya.

Jika beruntung, Erwiana akan mendapatkan keadilan. Keluarganya mengatakan mereka bertekad untuk mencari tindakan hukum terhadap mantan majikannya. Pemerintah Indonesia juga telah berjanji untuk menyediakan pengacara untuknya.  

PRT Indonesia lainnya, bagaimanapun, mungkin tidak pernah mendapatkan ganti rugi. Dalam laporan pada November lalu, yang dikhususkan Indonesia, Amnesty International menyebutkan PRT Indonesia rentan di Hong Kong. Tidak seperti orang Filipina, kelompok utama lain PRT di Hong Kong, orang Indonesia diminta mencari pekerjaan melalui agen perekrutan, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Badan-badan itu seharusnya memberi pelatihan, menyiapkan kontrak, dan mengatur visa mereka.  Namun, Amnesty Internasional menemukan para PJTKI gagal mewakili kepentingan para PRT.

Ina, seorang PRT Indonesia yang lebih suka dikenal dengan nama depannya, dibangunkan dan diusir dari rumah majikannya pada suatu malam.  “Saya menghabiskan malam menangis di lobi,” katanya. “Saya sangat terkejut.”

Sebelum pergi, dia diminta menandatangani sebuah dokumen yang tidak dia mengerti.  Pada pagi hari, dia pergi ke satu-satunya tempat bisa dia pikirkan, lembaga yang telah merekrut dia. Pihak PJTKI menjelaskan kepadanya, dia baru saja mendapat haknya untuk gaji luar biasa dan tiket pesawat pulang. Tapi, bukannya memberikan nasihat hukum tentang bagaimana bisa membawa majikannya ke pengadilan, staf PJTKI hanya memarahinya dan mengingatkan dia masih berutang uang kepada mereka.

“Dari saat tertipu mendaftar untuk bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam siklus eksploitasi dengan kasus yang sebesar perbudakan modern,” kata penulis laporan Amnesty, Norma Kang Muico.

Terjerat Utang

Utang adalah alat utama yang digunakan PJTKI untuk menjaga supaya para PRT itu tetap terikat.  Para perempuan pekerja tersebut dibebani jumlah yang terus meningkat —yang bisa mencapai sekitar $ 2700 (sekitar Rp 32 juta) atau lima kali upah bulanan minimum, di atas batas legal maksimum yang ditetapkan oleh Hong Kong dan Jakarta—untuk pelatihan dan “fasilitas” lainnya.

Otomatis gaji mereka dipotong hingga biaya dilunasi. Menanggapi meningkatnya jumlah kasus pelecehan, Pemerintah Indonesia—yang hanya memikirkan nilai ekonomi dari pengiriman uang yang dilakukan oleh pekerja di luar negeri—punya rencana, pada 2017, untuk mengekspor buruh terampil seperti juru masak, pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau pengasuh.  Pemerintah Indonesia beralasan para profesional tersebut akan kurang rentan terhadap eksploitasi dibandingkan PRT.

Namun, Eni Lestari, Ketua International Migran Alliance yang berbasis di Hong Kong, mengatakan hal itu tidak mungkin membawa perubahan, karena PJTKI akan tetap bertanggung jawab atas program pelatihan baru. “Pemerintah ingin mengekspor TKI, tetapi  tidak ingin melakukannya sendiri, sehingga mereka melakukan outsource ke pihak lain,” katanya.

Untuk memastikan pembayaran mereka, PJTKI biasanya bersikeras menahan para pekerja dalam keadaan yang sulit. Hal ini terjadi pada Ina dan Erwiana, yang berat memperjuangkan keadilan atas tindakan pelecehan terhadap mereka. Bahkan jika kontrak, untuk beberapa alasan, dihentikan, hal itu masih menguntungkan agen. Karena hukum Hong Kong hanya mengizinkan PRT tetap tinggal di Hong Kong tanpa kerja hanya selama dua minggu, para perempuan itu dipaksa kembali ke PJTKI untuk mendapatkan kontrak baru.

Beberapa komite PBB, termasuk Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Hak Asasi Manusia, telah mendesak Hong Kong untuk meninjau atau mencabut pembatasan dua minggu itu. Lembaga-lembaga itu juga mendesak dicabutnya hukum yang memerintahkan PRT tinggal bersama majikan mereka, yang itu dipandang sebagai menempatkan perempuan pada risiko pelecehan seksual, fisik, dan emosional. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home