Loading...
OPINI
Penulis: Yulianti Muthmainnah 00:00 WIB | Kamis, 10 September 2015

Meletakkan Tangan di Atas

SATUHARAPAN.COM – Setiap tanggal 5 September kita akan memperingati Hari Internasional Charity. Sebagaimana keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi A/RES/67/105 tahun 2012. Tujuan utama dari peringatan tersebut yakni meningkatkan kesadaran dan platform bersama antara individu, lembaga, dan pemerintah baik di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kegiatan pentingnya beramal guna merespons belbagai situasi dunia.

PBB menyerukan peringatan tersebut dimulai dari lini terkecil yakni individu dan di tingkat lokal. Ini bisa berarti harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita, keluarga ataupun lingkungan tempat kita tinggal. Lalu, bagaimana menciptakan dan memulainya pada diri sendiri dan keluarga? 

Lingkungan Terdekat

Baru-baru ini anak saya bertanya tentang apa makna amal yang sesungguhnya. Hal ini lantaran setiap hari Jumat ia mendapat pesan dari gurunya untuk membawa uang yang akan dimasukkan ke kotak amal masjid dekat sekolahnya yang sedang tahap pembangunan.

Seketika saya merasa ada banyak pekerjaan rumah dalam sistem pendidikan kita yang bisa jadi tidak secara tepat menanamkan makna beramal yang sesungguhnya. Apakah orangtua juga berkontribusi soal itu?

Memang tak mudah mengajarkan nilai-nilai pentingnya beramal kepada anak. Belajar berhitung saja ia lebih percaya pada metode yang diajarkan gurunya tinimbang cara yang orangtua ajarkan.

Pada titik inilah pentingnya kurikulum, misalnya pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan untuk beramal. Sayang sekali di situ beramal diterjemahkan hanya sependek donasi pada pembangunan tempat ibadah. Sehingga peserta didik kurang belajar atau bahkan hanya memahami beramal yang paling mulia dan mendapatkan pahala besar dengan mendonasikan harta/uang pada pembangunan rumah ibadah.

Akibatnya ketika dewasa dan dituntut untuk berdonasi, kita mengalami kegagapan dan bisa jadi curiga berlebihan apakah dana yang disumbangkan akan tepat sasaran, siapa pengelolanya dan bagaimana pertanggungjawabannya. Alih-alih mau beramal tapi justru banyak pertimbangan yang akhirnya batal beramal.

Tidakkah kita menyadari bahwa cara tersebut, cepat atau lambat menumbuhkan sikap panatisme pada golongan tertentu saja. Mau bukti? Contoh terbaru misalnya, kita akan cepat tergerak untuk mengumpulkan dana guna pembangunan masjid yang hancur akibat bencana alam atau konflik. Tanpa banyak pertimbangan ataupun pertanyaan. Misalnya pengumpulan dana untuk pembangunan masjid Tolikara. Dana yang terkumpul kurang dari tiga hari dengan jumlah yang melebihi dari rencana anggaran dana yang butuhkan.

Ini lebih cepat dilakukan daripada mengumpulkan dana untuk donasi kemanusiaan lainnya. Bisa jadi inilah hasil yang dipetik karena sejak dini, peserta didik hanya diajarkan bahwa berderma itu menyumbang masjid maka ketika dewasa secara sadar ataupun tidak, seseorang akan mudah tergugah hatinya untuk berdonasi pada pembangunan rumah ibadah daripada donasi lainnya.

Faktor lain yang saya pikir mempermudah orang untuk beramal atau berdema pada pembangunan rumah ibadah yakni karena nasihat yang sering disampaikan pemuka agama bahwa Tuhan akan membangunkan istana di surga bila seseorang membangun rumah Tuhan di dunia.

Identitas tunggal juga sangat mempengaruhi. Sebagai sesuatu yang melekat pada diri seseorang, identitas memang bisa dimaknai sebagai realitas diri yang pada akhirnya dapat menciptakan rasa bangga secara berlebihan. Pada titik tertentu dapat memperkuat jalinan solidaritas untuk mendukung kelompok yang sama identitasnya bila tertimpa kesulitan. Itulah mengapa  Amartya Sen dalam Identity and Violence menarasikan pentingnya seseorang memperluas identitas dirinya sehingga terhindar dari sikap kebanggaan, kepercayaan dan solidaritas hanya pada golongan tertentu saja. 

Lantas, bagaimanakah seharusnya mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan beramal pada anak? Apakah beramal berarti cukup menyumbang pembangunan rumah ibadah? Sekolah, guru, dan mungkin kita sebagai orang tua terkadang lupa mengajak anak untuk singgah di tempat-tempat yang memang membutuhkan dukungan dana seperti saat terjadi gempa, orang-orang yang ditimpa kelaparan, daerah-daerah kumuh dan miskin, atau di tempat paska konflik yang nyata dimana wujud amal benar-benar dibutuhkan. Sehingga anak tidak melulu berfikir bahwa beramal itu untuk pembangunan tempat ibadah an sich.

Pesan Islam

Beramal mengandung nilai-nilai tentang kesukarelaan, berbagi, dan filantropi, memberikan ikatan sosial yang nyata, berkontribusi terhadap penciptaan masyarakat inklusif dan lebih tangguh. Beramal dapat meringankan dampak terburuk dari krisis kemanusiaan, melengkapi pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak. Sehingga berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia dan mempromosikan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan dan kurang mampu guna menebar pesan kemanusiaan dalam belbagai situasi.

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Inilah tuntunan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim). Dengan memberi (tangan di atas) kita mendapatkan kemuliaan dan keberkahan atas harta yang dimiliki. Memberi berarti mensyukuri apa yang kita miliki sekaligus juga belajar tentang cinta kasih pada sesama.

Melibatkan anak dalam kegiatan sosial penting dimulai sejak usia dini sehingga anak belajar nilai-nilai kesukarelaan dan filantropi. Selain itu, paling tidak sekali saja dalam perayaan ulang tahunnya, ajak anak merayakan di rumah yatim, panti asuhan, atau mengundang anak-anak kurang mampu lainnya dapat dijadikan sarana mendidik agar anak belajar beramal dan bersyukur.

Sebagaimana pesan Ilahi dalam Surat al- Maa’uun bahwa enggan memberi makan fakir miskin, menghardik anak yatim, dan malas mengamalkan barang-barang yang berguna termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka dan mendustakan agama. Untuk itu, kiranya beramal memang harus diterjemahkan lebih luas, dimulai dari diri sendiri dan dicontohkan pada lingkungan terdekat, keluarga. Guna menciptakan gerakan beramal secara global. 

Penulis adalah Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home