Loading...
OPINI
Penulis: Posman Sibuea 00:00 WIB | Senin, 07 September 2015

Mengakhiri Praktik Mafia Daging Sapi

SATUHARAPAN.COM – Dalam editorial satuharapan.com edisi 10 Agustus 2015 bertajuk “Ada Lagi Yang Permainkan Harga Daging Sapi?” disebutkan bahwa ketersediaan daging sapi sudah pada situasi yang tidak lagi normal yang terkait dengan hukum pasokan dan permintaan. Harga daging sapi yang melambung tinggi adalah akibat dari suatu permainan terhadap kebutuhan rakyat. Lantas dapatkah permainan yang membahayakan kehidupan ekonomi bangsa ini diakhiri?

Hipotesis yang disampaikan editorial satuharapan.com bahwa ada permainan yang melambungkan harga daging tidak berlebihan, sebab  sebagian orang menyebut negeri ini nyaris dikendalikan para mafia. Mereka bergerak bak sel kanker, sangat cepat dan menyebar di hampir seluruh sendi ‘tubuh’ Republik ini. Mulai dari wilayah politik, hukum, lingkungan, dan perdagangan, mereka menguasai dari  hulu hingga hilir.  Di sektor pangan, tangan-tangan mafia bak setan di siang bolong – tidak kelihatan tetapi nyata efeknya – kuat mencengkeram kebutuhan perut anak bangsa ini. Bahkan mafia sudah sedemikian menggurita dan menjangkau hampir semua jenis pangan, tidak hanya daging tetapi mulai dari garam, bawang merah, kedelai, beras hingga jagung.

Meresahkan masyarakat

Kelangkaan daging  sengaja diciptakan dengan cara menahan stok daging atau sapi bakalan yang dikuasai para pengusaha penggemukan sapi. Mengikuti   hukum pasokan dan permintaan,  kelangkaan komoditas di pasar otomatis membuat harga melonjak sehingga meresahkan masyarakat. Defisit daging dan pasokan sapi hidup ditengarai  akibat pembatasan kuota impor oleh pemerintah dan dituding sebagai pemantik  meroketnya harga. Aksi mogok pedagang daging sapi yang terjadi membuat situasi semakin mencengkram.

Pemerintah telah menyampaikan sikap tegas dengan menuding mafia daging bermain di balik drama mogok yang mengganggu perekonomian nasional ini. Pemogokan menjadi pelengkap skenario untuk menekan pemerintah agar menambah kuota impor, yang pada kuartal tiga tahun ini hanya ditetapkan 50.000 ekor sapi. Pemerintah tidak merubah ketetapannya  meski pengusaha penggemukan sapi melakukan tekanan lewat pemogokan pedagang daging sapi.

Bahkan, pemerintah mengeluarkan senjata pamungkasnya akan memidanakan mereka yang menghasut pedagang untuk mogok. Ancaman pidana ini sesuai dengan  UU 7/2014 tentang Perdagangan, yang antara lain melarang menyimpan barang kebutuhan pokok dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Kementerian Perdagangan yakin, stok daging yang ditopang dari sapi produksi lokal dan impor 50.000 ekor sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk beberapa bulan ke depan. 

Lewat penelitian yang dilakukan tahun 2012 di lima lokasi berbeda, yakni di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung, KPK menyatakan ada enam modus yang dinilai rawan korupsi dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait komoditas daging sapi. 

Enam modus itu yakni penggelapan impor daging sapi, impor sapi atau daging sapi fiktif, penyalahgunaan prosedur importasi daging sapi, penyalahgunaan dana bansos ternak sapi, suap dalam proses  impor dan upaya  mencegah  suplai daging ke Jakarta.   Banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari bisnis impor daging sapi melatarbelakangi keenam modus ini tetap eksis. Impor pangan itu pun tidak  murni lagi soal pasokan dan permintaan. Tapi lebih pada  bagaimana mengeruk uang banyak dalam waktu cepat dan relatif gampang dilakukan.

Matematiknya bisa digambarkan sebagai berikut. Harga daging sapi di negara asal sekitar 4 dollar AS per kg.  Ditambah biaya transportasi, asuransi, dan bongkar-muat, harga di pelabuhan Indonesia diperkirakan menjadi 6 dollar AS per kg (Rp 78.000 per kg dengan asumsi kurs Rp 13.000 per dollar AS). Harga daging eceran di pasar saat ini sekitar Rp 120.000 per kg. Ada selisih harga sebesar Rp 42.000 per kg (54 persen). Jika  harus dikeluarkan lagi biaya distribusi dan sewa cold storage sebesar 10 persen, margin keuntungan masih amat besar. Ini artinya bisnis daging sapi impor amat menggiurkan.

Cengkraman mafia pangan dalam permainan impor daging sapi merupakan salah satu contoh dari pengerukan uang haram di sektor pangan. Sama seperti mafia impor beras yang menggemparkan beberapa bulan lalu, impor daging sapi sebenarnya hanya dikuasai segelintir pemain saja. Pemerintah berusaha mendobrak dominasi para mafia pangan ini. Yaitu dengan membuka sebanyak mungkin pemain baru yang diharapkan jujur. Kenyataan, sebagian besar mereka hanya broker ijin saja untuk dipinjam sebagai bendera. Kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil. Mekanisme kuota pun sebatas memudahkan pembagian rente daging impor yang dihitung per kilogram daging sapi.

Kejahatan Ekonomi

Keterlibatan korporasi transnasional dalam permainan daging sapi impor telah menghabisi nafas peternak ”kecil” lokal. Dengan penguasaan tata niaga pangan impor, korporasi yang bermain dalam mafia pangan dengan mudah dapat mengatur sistem distribusi pangan.  Harga   mereka kendalikan. Struktur oligopoli yang bermain dalam ruang bisnis daging impor  seharusnya dinyatakan sebagai kejahatan ekonomi dan pelakunya dihukum seberat-beratnya.

Persoalan pangan  seharusnya tidak dimainkan dalam irama yang hanya bisa dinikmati para mafioso. Para peternak lokal harus dilindungi pemerintah lewat subsidi harga dan masyarakat konsumen dapat mengakses daging sapi dengan mudah karena terjangkau daya beli. Bahkan, jika ingin menengok sejarah perjalanan konsumsi  protein masyarakat makan pangan lokal amat berperan. Jika ingin makan ikan mereka menangkanya di sungai, jika ingin mengonsumsi daging, tinggal menangkap kelinci atau burung puyuh di hutan. Masyarakat tidak pernah mengalami gizi buruk karena lewat kearifan lokal yang dimiliki sumber-sumber bahan pangan tersebut dikelola  secara baik sekaligus memperkuat ekonomi domestik.

Seiring dengan itu patut diduga ada skenario besar  yang ingin menggagalkan program swasembada daging sapi 2020. Dugaan tersebut dilandasi kian masifnya cengkraman mafia pangan dalam mengatur tata niaga daging sapi. Mereka meneriakkan kelangkaan daging sapi harus diatasi lewat impor. Persediaan populasi sapi di dalam negeri disebut masih jauh dari mencukupi. 

Populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,7 juta ekor (BPS, 2014) sesungguhnya mampu mencukupi 90 persen kebutuhan daging secara nasional dengan asumsi tingkat konsumsinya 2,1 kg/kapita/tahun. Namun sapi lokal yang diasumsikan dapat menyuplai kebutuhan daging sapi pada kenyataannya tidak dapat terpenuhi sehingga harga daging sapi naik secara signifikan  belakngan ini. Diperkirakan, program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tidak tercapai seperti diharapkan.

Sinyal kegagalan ini sudah dirasakan pada akhir tahun 2013 dengan lonjakan harga sapi dan daging sapi di luar angka kewajaran. Seandainya pemerintah mempunyai perhitungan yang matang dan bertahap dalam menurunkan kuota daging impor nasional maka lonjakan harga seperti yang dialami saat ini dapat dihindari. Berdasarkan fakta-fakta di atas pemerintah dapat dianggap lalai atau tidak menjalankan amanat UU Pangan No.18 Tahun 2012 tentang Pangan  yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau hingga di tingkat individu.

Pemerintah patut segera mengambil sejumlah langkah guna mengakhiri praktik dan permainan mafia pangan dalam tata niaga impor daging sapi. Salah satunya  adalah memperbaiki kebijakan yang salah agar dapat melakukan evaluasi pasokan dan permintaan untuk percepatan  swasembada daging yang berkelanjutan dan terukur.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah melakukan penataan ulang proses tender impor daging sapi untuk lebih terbuka kepada publik. Pemerintah harus menghadirkan penyidik KPK di semua tahap tender guna menghindari korupsi  dan perilaku mafia pangan. Pemenang tender dipilih dari perusahaan yang mengambil margin laba terendah dan telah memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan panitia.

 

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser). 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home