Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 08:45 WIB | Kamis, 10 September 2015

Membangun Budaya Damai: Inklusif dan Tanpa Diskriminasi

Duta Besar Islandia, Einar Gunnarsson, berbicara mewakili Majelis Umum PBB tentang Budaya Damai. (Foto: un.org//Mark Garten)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyampaikan pesan untuk membangun budaya damai yang tidak hanya mengakhiri konflik, tetapi juga membangun masyarakat inklusif yang berkembang tanpa diskriminasi.

"Diskusi ini adalah kesempatan untuk fokus pada apa yang perlu kita lakukan untuk masa depan baru dan sejahtera untuk semua," kata Duta Besar Islandia, Einar Gunnarsson, ketika  berbicara mewakili Presiden Majelis Umum, pada pertemuan tingkat tinggi Forum Budaya Damai, seperti dikutip un.org

"Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa perdamaian bukan hanya tidak adanya konflik," katanya. "Perdamaian membutuhkan masyarakat yang adil, pendidikan inklusif, dan tindakan nyata di lapangan.’’

"Lebih penting lagi, perdamaian adalah mimpi yang jauh, jika tanpa pembangunan. Ini adalah bagian dari tantangan utama dalam mempromosikan budaya perdamaian dan memastikan masyarakat damai," kata dia.

Dia mengatakan kebutuhan menciptakan komunitas nasional untuk mempromosikan dialog, meningkatkan penghormatan terhadap keragaman agama dan budaya, dan menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi, sambil mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, penegakan hukum, serta keputusan yang dibuat secara demokratis.

Pertemuan itu untuk menyoroti implementasi Deklarasi dan Program Aksi pada Budaya Perdamaian yang diadopsi Majelis Umum PBB pada September 1999.

Tindakan Berani

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, berbicara tentang budaya damai, menyoroti krisis kemanusiaan di seluruh dunia dan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional. "Pertemuan hari ini adalah tentang kebenaran yang sangat sulit di dunia kita, di mana orang menderita, dan sekarat akibat kekerasan, kekejaman, dan kejahatan," kata dia.

"Suriah adalah situasib terburuk di dunia dalam krisis kemanusiaan hari ini," katanya. "Saya telah mengecam para pihak, terutama Pemerintah, atas laporan pelanggaran berat hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional yang menyebabkan sejumlah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan."

Selain tentang wilayah yang dilanda perang, Ban menyebutkan, "Bahkan di sebagian besar negara yang damai, masyarakat demokratis, minoritas (masih) diserang karena ras, orientasi seksual atau perbedaan lainnya..."

Dia memberi penghargaan kepada negara-negara, masyarakat dan orang-orang yang telah menunjukkan belas kasihan, bukan xenofobia dan diskriminasi. "Kami tidak bisa membangun budaya perdamaian tanpa kampanye aktif terhadap pemisahan dan ketidakadilan," kata Ban.

"Agar lebih dari sekadar kata-kata yang hanya menenangkan, budaya damai menuntut praktik secara berani," kata dia.

Non Kekerasan Gandhi

Arun Gandhi, cucu dari almarhum Mahatma Gandhi, juga menyampaikan pidato pada pertemuan tersebut. Dia berbagi pengetahuan yang didapat dari salah satu pemimpin besar gerakan kemerdekaan India (Mahatma Gandhi).

"Apa yang saya pelajari dari kakek adalah bahwa kita masing-masing memberikan kontribusi untuk kekerasan sepanjang waktu. Banyak sekali dalam cara kita, yang bahkan kita tidak tahu dan tidak mengenali," katanya. "Kecuali kita mengubah diri kita secara individu dan menerima cara kehidupan non-kekerasan, kita tidak bisa menciptakan perdamaian di dunia saat ini."

Dia mengutip pernyataan kakeknya, "Kita harus menjadi perubahan tentang apa yang ingin kita lihat di dunia, kecuali kita mengubah diri kita dan sikap kita, kita tidak akan bisa mengubah dunia sama sekali."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home